Tag Archive for: HDSS Sleman

Studi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menguak fakta mengkhawatirkan: tingginya angka kekurangan gizi pada anak usia di bawah lima tahun. Temuan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang bagi kesehatan dan tumbuh kembang. Studi ini juga membahas pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. 

Para peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa praktik pemberian makan merupakan faktor utama yang memengaruhi status gizi anak usia 0-59 bulan. Pemberian makanan yang baik berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak secara keseluruhan. Studi terbaru yang dilakukan di Sleman, Yogyakarta, menyelidiki hubungan antara praktik pemberian makan dan status gizi pada anak usia di bawah lima tahun. 

Penelitian ini melibatkan 185 anak berusia 7-59 bulan responden Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Status gizi anak dinilai berdasarkan pengukuran antropometri (berat dan tinggi badan), sementara praktik pemberian makan diperoleh melalui kuesioner terstandar. 

Hasil penelitian menunjukkan angka yang memprihatinkan terkait kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan berat badan menurut umur (BAZ/WAZ), prevalensi anak yang kekurangan gizi (underweight) mencapai 12.5%. Selain itu, prevalensi stunting (tubuh pendek) berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/HAZ) mencapai 39.5% dan prevalensi kurus berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB/WHZ) sebesar 5.4%. 

Meskipun demikian, studi ini menemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki praktik pemberian makan yang tergolong baik. Hal ini terlihat dari praktik pemberian ASI (95.7%), pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) (70.8%), perilaku pemberian makan (64.3%), dan frekuensi pemberian makan minimal 3 kali sehari (78.9%). Namun, sebanyak 54.1% anak mulai menerima MPASI sebelum usia 6 bulan, yang menandakan terganggunya pemberian ASI eksklusif. 

Secara mengejutkan, penelitian ini tidak menemukan hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak berdasarkan BAZ, TB, dan BB/TB. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa praktik pemberian makan yang baik berperan penting dalam memastikan kecukupan asupan gizi dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. 

Hasil studi ini dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs) dengan memberikan gambaran praktik pemberian makan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dalam peningkatan mutu kualitas individu. Beberapa Goal yang dapat didukung yaitu:

  1. SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Memberikan gambaran untuk perbaikan situasi kekurangan gizi anak
  2. SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera): Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan peningkatan status gizi anak
  3. SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendorong masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan edukasi masyarakat terkait praktik pemberin makan pada anak
  4. SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan): Mendorong kemitraan masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pemerintah untuk meningkatkan status gizi anak. 

Studi ini memberikan gambaran tentang pentingnya pemenuhan gizi pada anak usia dini, terlepas dari temuan tidak adanya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. Orang tua dan pengasuh anak perlu terus berupaya memberikan makanan bergizi seimbang sesuai usia anak, serta berkonsultasi dengan tenaga kesehatan untuk memantau tumbuh kembang anak secara berkala.

Referensi:
Palupi, I. R., Meltica, R., & Faza, F. (2019). Research Article Feeding Practices and Nutritional Status among Children Under Five Years of Age in Sleman District, Yogyakarta, Indonesia.

Penulis: Rahayu Kia Sandi Cahaya Putri
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Penyakit kardiovaskular, terutama penyakit jantung koroner (PJK), berkontribusi pada tingkat kematian utama dan disabilitas pada tahun-tahun kehidupan di seluruh dunia. Tahun 2023, tim pengabdian masyarakat diketuai oleh dr. Anggoro Budi Hartopo, MSc, Ph.D, SpPD-KKV, SpJP(K) dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular  FK-KMK UGM telah melakukan penelitian untuk menilai prediksi skor terjadinya PJK dengan hasil klasifikasi dan stratifikasi risiko pada populasi orang yang belum terkena penyakit jantung koroner. Faktor risiko yang telah diidentifikasi adalah merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, obesitas, aktivitas fisik dan diet rendah serat. Deteksi dini atau skrining faktor risiko ini penting dalam upaya mendeteksi adanya faktor risiko pada masyarakat yang sehat. Tahun 2024 ini, tim melanjutkan kegiatan tersebut dalam rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat.

“Masyarakat yang sehat dengan faktor risiko dapat dinilai dan diklasifikasikan dalam beberapa strata risiko. Skrining faktor risiko dan stratifikasi risiko ini bertujuan untuk memperkirakan kejadian penyakit kardiovaskular selama 10 tahun ke depan. Beberapa klasifikasi risiko ini meliputi: (1) risiko yang sangat tinggi, (2) risiko tinggi, (3) risiko sedang, dan (4) risiko rendah,” jelas dr. Anggoro.

Kegiatan FGD dilaksanakan pada Jum’at, 21 Juni 2024 di Aula Kelurahan Sidomoyo. Kegiatan ini bertujuan untuk berdiskusi bersama dengan masyarakat untuk mengembangkan kuesioner dan menyiapkan edukasi yang dibutuhkan oleh masyarakat terkait risiko PJK. Selanjutnya, rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat ini dilanjutkan untuk mengembangkan suatu kuesioner berbasis website yang dapat diisi secara mandiri oleh populasi masyarakat, sehingga dapat digunakan sebagai pengingat kesadaran masyarakat untuk menerapkan modifikasi gaya hidup sehat setelah mengetahui skor prediksi risiko tersebut. Rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat ini sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG), tepatnya pada tujuan 3: Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan. Selain itu, kegiatan ini melibatkan dan mendapat dukungan dari pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa kuesioner dan intervensi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat setempat.

Penulis: Nisa Nur Hasanah
Editor: Nisa Nur Hasanah

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah usaha atau bisnis yang dilakukan oleh individu,  kelompok,  badan  usaha  kecil  maupun  rumah  tangga. Tim pengabdian masyarakat bekerjasama dengan HDSS Sleman FK-KMK UGM telah membersamai UMKM binaan HDSS Sleman, yaitu pada Kelompok Wanita Batik (KWB) Pundong II, Kabupaten Sleman sejak tahun 2021.

Pendampingan yang dilakukan dimulai dengan inisiasi kegiatan pendampingan produksi batik dengan melakukan pelatihan awal hingga tercetusnya SEKAR MELATI, sebagai branding batik produksi KWB Pundong II dan motif burung blekok sebagai motif khas Batik Sekar Melati. Kerjasama ini mendapat dukungan penuh dari Kelurahan Tirtoadi dan Dukuh Pundong II. Tahun 2024 ini, dukungan dari desa Tirtoadi diwujudkan dalam bantuan rencana pembuatan bak celup untuk meningkatkan produksi batik Sekar Melati Pundong II.

Kendala yang masih dihadapi oleh KWB Pundong II yaitu minimnya pengetahuan KWB tentang strategi pemasaran digital. Hal ini disampaikan oleh Ibu Evi Padmawati selaku perwakilan KWB Pundong II; untuk peningkatan omset serta keuntungan melalui perluasan pasar, harapannya terdapat peningkatan kapasitas KWB dalam pengelolaan media untuk pemasaran digital.

Salah satu bentuk dukungan dari FK-KMK UGM bekerjasama dengan PLUT Dinas Koperasi dan UKM DIY memberikan pendampingan pemasaran digital pada ibu-ibu KWB dan perwakilan beberapa karang taruna dusun Pundong II pada Sabtu, 29 Juni 2024 lalu. Pendampingan ini berisi materi pemasaran digital whatsApp dan instagram bisnis yang diberikan oleh Lista Rantika, S.Kom dan Romli Nur Hidayat, S.E selaku Narasumber. Penyampaian materi diberikan dalam kelompok-kelompok kecil untuk memaksimalkan praktek materi tersebut.

“Sebagai langkah menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, perlu mengadopsi pemasaran digital sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kelangsungan usaha. Selain itu, motif khas dari Batik Pundong II dapat disebarluaskan ke masyarakat melalui media sosial.”, tutur Dr. Supriyati, S.Sos., M.Kes., selaku perwakilan tim pengabdian masyarakat FK-KMK UGM.

Pada tahun 2023 tim pengabdian masyarakat FK-KMK UGM telahbersinergi dengan POS UKK Puskesmas Mlati II, Kalurahan Tirtoadi, dan Padukuhan Pundong II dalam pendampingan Batik Sekar Melati Pundong II. Tim juga telah mengembangkan modul ber-ISBN yang berisi Teknik Pewarnaan, Pelorotan, dan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) dalam Membatik. Tahun 2024 ini, kegiatan akan dilanjutkan pada pembuatan video edukasi K3 dalam membatik. Harapannya buku dan video tersebut dapat menambah pengetahuan dan dapat dimanfaatkan masyarakat umum.

Selain itu, tim akan menggandeng pihak lain terutama stakeholder di Kabupaten Sleman yang harapannya dapat mendukung produksi batik Sekar Melati supaya semakin dikenal masyarakat luas dan meningkatkan kapasitas dari KWB Pundong II. Kerjasama antara KWB Pundong II, FK-KMK UGM, desa Tirtoadi, dan Dinas Koperasi dan UKM DIY menunjukkan kolaborasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Model kerjasama ini dapat ditiru oleh UMKM lain di berbagai daerah untuk meningkatkan efektivitas program pengembangan UMKM. Batik Sekar Melati merupakan contoh inspiratif bagaimana UMKM dapat berperan dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan terus meningkatkan sinergi multi helix dan memanfaatkan teknologi dan inovasi, UMKM dapat menjadi pendorong penting dalam mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua.

Penulis : Nisa Nur Hasanah
Editor : Nisa Nur Hasanah dan Supriyati

Berdasarkan hasil seleksi administrasi, tes tertulis dan wawancara oleh Tim Rekrutmen HDSS Sleman 2024, maka dengan ini kami mengumumkan daftar nama yang terpilih menjadi enumerator HDSS Sleman adalah sebagai berikut:

No.Nama Lengkap
1Ummul Salma Latifah Ulfa
2Ika Bela Aprilia
3Ayu Cahniya Sari
4Destha Putri Amellindha
5Alfita Sekar Candra
6Yasmin Aulia Rahmah

Selamat kepada teman-teman yang telah dinyatakan terpilih menjadi enumerator dan bergabung menjadi bagian dari HDSS Sleman. Kepada teman-teman yang belum terpilih, tim rekrutmen HDSS Sleman mengucapkan terima kasih atas partisipasi teman-teman mengikuti serangkaian proses seleksi posisi enumerator. Tetap semangat teman-teman dan kesempatan menjadi bagian dari HDSS Sleman masih terbuka di lain waktu, kunjungi website HDSS Sleman dan follow Instagram @hdss.sleman.ugm untuk mendapatkan informasi terbaru dari HDSS Sleman.

Panitia Rekrutmen HDSS Sleman 2024
Sekretariat HDSS Sleman
Gedung Radiopoetro Lantai 1 Sayap Barat
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Narahubung Rahmi: 08112577453 (WA)

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.

 

Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa orang yang berusia kurang dari 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami cedera akibat kecelakaan motor. Hasil studi ini menyoroti pentingnya pemahaman akan faktor-faktor demografi dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor.

Sebuah penelitian yang menganalisis data sekunder HDSS Sleman tahun 2015 dan 2016 menemukan bahwa cedera akibat kecelakaan motor cenderung lebih tinggi pada orang-orang yang berusia kurang dari 45 tahun (69,7%). Selain itu, mayoritas korban cedera berjenis kelamin laki-laki (54,3%).

Meskipun faktor usia menunjukkan hubungan signifikan dengan risiko cedera, penelitian ini tidak menemukan korelasi antara jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, domisili perkotaan, dan status sosial ekonomi dengan parahnya cedera. Hal menarik dari penelitian ini adalah usia secara statistik berhubungan dengan status cedera. Kelompok usia di atas atau sama dengan 45 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami cedera serius.

Penemuan ini memunculkan pertanyaan penting mengenai perlunya pengembangan program kesehatan yang lebih khusus untuk mengurangi risiko cedera yang parah. Program tersebut dapat diintegrasikan dengan program kesehatan yang sudah ada untuk lansia, khususnya yang menyoroti pentingnya keseimbangan dan refleks mengendara yang menurun seiring bertambahnya usia. Dengan demikian, program ini dapat menjangkau kelompok usia yang paling rentan mengalami cedera dalam hal ini usia kurang dari 45 tahun.

Penelitian ini juga memiliki implikasi yang signifikan dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 3, yaitu kesejahteraan dan kesehatan bagi semua orang. Dengan memahami karakteristik cedera akibat kecelakaan motor, kita dapat merancang kebijakan dan program-program intervensi yang lebih efektif dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Sementara itu, para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan temuan ini dalam merumuskan langkah-langkah yang lebih efektif dalam melindungi masyarakat dari cedera akibat kecelakaan motor. Dengan demikian, keselamatan di jalan raya bisa menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat bisa terjamin lebih baik pula.

Penting diingat bahwa berkendara motor memiliki risiko kecelakaan yang lebih tinggi dibandingkan mobil. Selalu mengutamakan keselamatan, dengan mematuhi aturan lalu lintas, menggunakan helm SNI, dan memperhatikan kondisi kendaraan sebelum berkendara. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkendara secara aman, angka kecelakaan dan cedera akibat kecelakaan motor dapat diminimalisasi.

 

Penulis: Asy’shifa Wijayanty
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:06

Referensi:
Mariana, A. T., & Dewi, F. S. T. (2018). Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Sleman: data HDSS 2015 dan 2016. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), 230-235.

 

Akses ke layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas merupakan hak asasi setiap orang, termasuk kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi modern. Namun, kenyataannya, tak sedikit pasangan usia subur di Indonesia yang masih terkendala biaya saat ingin menggunakan alat kontrasepsi.

Penelitian terbaru yang memanfaatkan data sekunder Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman menyorot temuan menarik terkait hal ini. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan ini menunjukkan bahwa lebih dari 70% peserta yang terdaftar dalam program jaminan kesehatan tetap perlu mengeluarkan biaya sendiri untuk mengakses alat kontrasepsi.

Temuan ini mencengangkan, mengingat tujuan utama integrasi program Keluarga Berencana (KB) ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk meningkatkan akses dan mengurangi beban finansial masyarakat. Studi ini pun semakin mempertegas pentingnya evaluasi dan perbaikan kebijakan terkait pembiayaan layanan KB dalam JKN.

Analisis lebih lanjut dalam penelitian ini mengungkap beberapa hal menarik lainnya. Pertama, jenis asuransi kesehatan yang dimiliki turut mempengaruhi pengeluaran biaya sendiri. Peserta JKN non-subsidi dan asuransi swasta memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menanggung biaya kontrasepsi dibandingkan peserta JKN subsidi. Kedua, jenis alat kontrasepsi yang digunakan juga menjadi faktor. Pengguna metode kontrasepsi jangka pendek, seperti pil atau kondom, ternyata lebih sering mengeluarkan biaya sendiri dibandingkan pengguna metode jangka panjang seperti IUD (Intrauterine Device) atau implan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan yang baik. Akses yang mudah dan terjangkau ke layanan KB menjadi salah satu faktor penentu tercapainya tujuan ini. Dengan demikian, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan terpenuhinya subsidi layanan KB bagi seluruh peserta JKN, serta mendorong penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang yang lebih hemat biaya. Kerja sama lintas sektoral antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan organisasi masyarakat sipil juga diperlukan untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya KB.

Harapannya, melalui perbaikan kebijakan dan peningkatan literasi kesehatan reproduksi, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita tercapainya kesehatan reproduksi yang berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:01

Referensi:
Sulistiawan, D., Lazuardi, L., Biljers Fanda, R., Asrullah, M., Matahari, R., & Arifa, R. F. (2021). Who Experience Out-of-Pocket Expenditures for Modern Contraceptive Use in Indonesian Universal Health Coverage System?. Medico-Legal Update21(3).

 

Kualitas hidup terkait kesehatan atau health related quality of life (HRQOL) merupakan salah satu indikator penting untuk memahami kesehatan anak. Melihat pentingnya kualitas hidup terkait kesehatan sebagai bagian dari kesehatan anak, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pada anak Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional berbasis komunitas yang dilakukan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dari bulan Agustus hingga November 2019. Sampel penelitian melibatkan 633 orang tua/wali dan 531 anak berusia 2-18 tahun.  Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan anak dinilai menggunakan instrumen Pediatric Quality of Life Inventory™ (Peds QL™) 4.0 Generic core scale versi Bahasa Indonesia yang telah tervalidasi, melalui laporan orang tua/wali (proxyreport) dan laporan anak secara mandiri (selfreport). 

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata kualitas hidup terkait kesehatan anak berdasarkan laporan orang tua/wali adalah 93.3 dari total skor 100 (SD=6.4) dan laporan anak secara mandiri adalah 89.9 dari total skor 100 (SD=8.5). Ditemukan terdapat korelasi moderat antara laporan orang tua/wali dan laporan anak secara mandiri. Analisis regresi multivariat berdasarkan laporan orang tua/wali menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan anak yang lebih rendah dikaitkan dengan adanya masalah kesehatan akut, usia lebih muda, riwayat berat badan lahir rendah, persalinan abnormal, tingkat pendidikan ayah yang lebih rendah, dan penggunaan asuransi kesehatan pemerintah untuk keluarga prasejahtera. 

Penelitian ini menemukan bahwa determinan sosiodemografi anak, masalah kesehatan akut, dan berat badan lahir rendah berpengaruh terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada populasi anak secara umum. Negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, memiliki tingkat infeksi akut dan berat badan lahir rendah masih prevalen, upaya pencegahan dan intervensi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan anak secara menyeluruh. 

Temuan penelitian ini dapat mendukung beberapa pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya yaitu SDG 3 Kesehatan dan Kesejahteraan yaitu meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal, SDG 4 Pendidikan Berkualitas yaitu anak dengan kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih rendah mungkin mengalami kesulitan dalam belajar dan mencapai potensi penuh mereka di sekolah, dan SDG 10 Mengurangi Kesenjangan yaitu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak harus difokuskan pada kelompok yang paling rentan, seperti anak-anak dari keluarga prasejahtera. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat mendorong upaya kolektif dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak di Indonesia dan mencapai pembangunan kesehatan berkelanjutan.

Penulis: Alfianto Hanafiah
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Sitaresmi, M. N., Indraswari, B. W., Rozanti, N. M., Sabilatuttaqiyya, Z., & Wahab, A. (2022). Health-related quality of life profile of Indonesian children and its determinants: a community-based study. BMC pediatrics22(1), 103.

 

Gigi berlubang atau karies gigi adalah penyakit yang menyerang jaringan keras gigi. Gigi berlubang disebabkan oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Karies gigi bisa terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, tak terkecuali remaja. Penelitian tersarang di Health and Demographic Surveillance System (HDSS) yang diketuai oleh Bambang Priyono dkk menemukan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

Penelitian tersebut meneliti hubungan antara tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dan kondisi sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 275 remaja di Kabupaten Sleman dan menggunakan metode survei analitik dengan desain potong lintang yang dengan responden merupakan remaja berusia 13-15 tahun.  Para peneliti mengukur risiko gigi berlubang menggunakan suatu metode yang mempertimbangkan 10 variabel, termasuk faktor perilaku dan kebiasaan makan. 

Meskipun prevalensi gigi berlubang di kedua kelompok – perkotaan (70,7%) dan pedesaan (81,95%) – terbilang tinggi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara faktor tempat tinggal dan kondisi sosio ekonomi orang tua terhadap kejadian karies gigi pada remaja.  Artinya, remaja yang tinggal di perkotaan atau pedesaan, serta yang berasal dari keluarga dengan ekonomi beragam, memiliki risiko gigi berlubang yang serupa. 

Meskipun Kabupaten Sleman merupakan daerah berkembang dan memiliki wilayah perkotaan dan pedesaan, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan status sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja. 

Temuan ini mematahkan anggapan umum bahwa remaja di perkotaan atau dari keluarga dengan ekonomi lebih baik memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah.  Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain, di luar tempat tinggal dan ekonomi orang tua, berperan lebih besar dalam mempengaruhi risiko gigi berlubang pada remaja. 

Para peneliti menduga faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi mulut, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis, serta akses ke layanan kesehatan gigi yang tidak memadai, mungkin menjadi faktor yang lebih dominan. 

Temuan penelitian ini memberikan beberapa gambaran upaya untuk mendukung tercapainya beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya: 

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik): Mempromosikan kesehatan mulut yang baik dan mencegah gigi berlubang berkontribusi langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, sejalan dengan fokus SDG 3 untuk memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendidik masyarakat tentang pentingnya kebersihan mulut dan kebiasaan makan sehat sejalan dengan tujuan SDG 4 untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
  • SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan): Menyorot kebutuhan akan akses yang sama ke perawatan gigi untuk mengatasi tujuan pengurangan kesenjangan di dalam dan antar negara (SDG 10) dengan memastikan semua remaja memiliki kesempatan untuk kesehatan mulut yang baik.
  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mulut di daerah perkotaan dan pedesaan berkontribusi pada penciptaan kota dan komunitas yang berkelanjutan dan inklusif (SDG 11) dengan mengatasi disparitas kesehatan dan mendorong kesejahteraan bagi semua penduduk.

Dengan memahami faktor-faktor risiko yang sebenarnya, upaya pencegahan dan penanganan gigi berlubang pada remaja dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.  Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak dini, serta memilih pola makan yang sehat.  Selain itu, perlu dipastikan adanya akses yang setara terhadap layanan kesehatan gigi bagi semua remaja, terlepas dari latar belakang mereka.

 

Penulis: Wing Ma Intan
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 13 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Priyono, B., Kusnanto, H., Supartinah, A., & Pramono, D. (2016). Correlation between predictions to get a new dental caries with residence area and parental socio-economic conditions in adolescents in Sleman DIY. Majalah Kedokteran Gigi49(3), 115-119.

 

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) merayakan Dies Natalis ke-78 tahun ini dengan meriah. Perayaan akbar ini diwarnai dengan berbagai kegiatan yang diikuti tidak hanya sivitas akademika FK-KMK tetapi juga khalayak umum. Salah satu kegiatan yang memeriahkan rangkaian Dies Natalis FK-KMK yaitu Annual Scientific Meeting (ASM) 2024.

ASM merupakan sebuah tradisi tahunan, berfungsi sebagai wadah untuk bertukar pengetahuan, berbagi temuan penelitian, dan mendorong kolaborasi di antara para ahli di bidang ilmu kesehatan. Dalam rangka memperluas jangkauan dan melibatkan audiens yang lebih luas, ASM diramaikan dengan Expo dan Talkshow.

Mengangkat tema “Precision Medicine: Dulu, Kini, dan Masa Depan”, Expo dan Talkshow ASM 2024 menghadirkan beragam pembicara untuk mengupas evolusi dan potensi dari pengobatan presisi. Tema ini menegaskan komitmen fakultas untuk memajukan perawatan kesehatan melalui penelitian mutakhir dan inovasi.

Expo ASM 2024 menampilkan berbagai unit, produk, dan anggota dari sistem kesehatan akademik FK-KMK UGM. Health and Demographic Surveillance System (HDSS) HDSS Sleman tahun ini ikut memeriahkan Dies Natalis UGM ke-78 dengan menghadirkan informasi seputar layanan HDSS Sleman di Expo ASM 2024. ASM Expo juga dimeriahkan dengan stand dari Bookstore FK-KMK, Departemen Health Policy and Management, Departemen Radiologi, Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Program Studi Doktor, UPH-LERES, PrOmics, Desa Batik Sehat Indonesia, Pokja Genetik, Aloeku by dr. Yanri, Rumah Sakit Akademik UGM, RSPAU dr. Suhardi Hardjolukito.

Keikutsertaan HDSS Sleman di Expo ASM 2024 menambah dimensi unik pada acara ini, dengan  menyorot pentingnya pemanfaatan data untuk pengambilan keputusan yang tepat dan peningkatan hasil kesehatan. Sleman HDSS memamerkan berbagai produk dan layanan, termasuk pemanfaatan data sekunder, penelitian tersarang, konsultasi penelitian dan analisis data, layanan pembuatan kuesioner penelitian digital, dan program magang.

Kerja sama HDSS Sleman dengan berbagai pihak seperti Pemerintah Kabupaten Sleman, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dan BAPPEDA menjadi contoh nyata upaya bersama untuk mengatasi tantangan kesehatan yang mendesak dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan wawasan berbasis data dan memelihara kolaborasi lintas disiplin, HDSS Sleman berkontribusi pada beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik), SGD 4 (Pendidikan Berkualitas) SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), dan SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

Perayaan Dies Natalis ke-78 FK-KMK UGM menegaskan komitmen fakultas untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan. Melalui inisiatif kolaboratif seperti HDSS Sleman, FK-KMK UGM terus menjadi yang terdepan dalam inovasi, mendorong perubahan positif, dan berkontribusi pada kemajuan agenda kesehatan global.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari