Tag Archive for: World Health Organisation

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.

 

Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa orang yang berusia kurang dari 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami cedera akibat kecelakaan motor. Hasil studi ini menyoroti pentingnya pemahaman akan faktor-faktor demografi dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor.

Sebuah penelitian yang menganalisis data sekunder HDSS Sleman tahun 2015 dan 2016 menemukan bahwa cedera akibat kecelakaan motor cenderung lebih tinggi pada orang-orang yang berusia kurang dari 45 tahun (69,7%). Selain itu, mayoritas korban cedera berjenis kelamin laki-laki (54,3%).

Meskipun faktor usia menunjukkan hubungan signifikan dengan risiko cedera, penelitian ini tidak menemukan korelasi antara jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, domisili perkotaan, dan status sosial ekonomi dengan parahnya cedera. Hal menarik dari penelitian ini adalah usia secara statistik berhubungan dengan status cedera. Kelompok usia di atas atau sama dengan 45 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami cedera serius.

Penemuan ini memunculkan pertanyaan penting mengenai perlunya pengembangan program kesehatan yang lebih khusus untuk mengurangi risiko cedera yang parah. Program tersebut dapat diintegrasikan dengan program kesehatan yang sudah ada untuk lansia, khususnya yang menyoroti pentingnya keseimbangan dan refleks mengendara yang menurun seiring bertambahnya usia. Dengan demikian, program ini dapat menjangkau kelompok usia yang paling rentan mengalami cedera dalam hal ini usia kurang dari 45 tahun.

Penelitian ini juga memiliki implikasi yang signifikan dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 3, yaitu kesejahteraan dan kesehatan bagi semua orang. Dengan memahami karakteristik cedera akibat kecelakaan motor, kita dapat merancang kebijakan dan program-program intervensi yang lebih efektif dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Sementara itu, para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan temuan ini dalam merumuskan langkah-langkah yang lebih efektif dalam melindungi masyarakat dari cedera akibat kecelakaan motor. Dengan demikian, keselamatan di jalan raya bisa menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat bisa terjamin lebih baik pula.

Penting diingat bahwa berkendara motor memiliki risiko kecelakaan yang lebih tinggi dibandingkan mobil. Selalu mengutamakan keselamatan, dengan mematuhi aturan lalu lintas, menggunakan helm SNI, dan memperhatikan kondisi kendaraan sebelum berkendara. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkendara secara aman, angka kecelakaan dan cedera akibat kecelakaan motor dapat diminimalisasi.

 

Penulis: Asy’shifa Wijayanty
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:06

Referensi:
Mariana, A. T., & Dewi, F. S. T. (2018). Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Sleman: data HDSS 2015 dan 2016. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), 230-235.

 

Akses ke layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas merupakan hak asasi setiap orang, termasuk kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi modern. Namun, kenyataannya, tak sedikit pasangan usia subur di Indonesia yang masih terkendala biaya saat ingin menggunakan alat kontrasepsi.

Penelitian terbaru yang memanfaatkan data sekunder Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman menyorot temuan menarik terkait hal ini. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan ini menunjukkan bahwa lebih dari 70% peserta yang terdaftar dalam program jaminan kesehatan tetap perlu mengeluarkan biaya sendiri untuk mengakses alat kontrasepsi.

Temuan ini mencengangkan, mengingat tujuan utama integrasi program Keluarga Berencana (KB) ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk meningkatkan akses dan mengurangi beban finansial masyarakat. Studi ini pun semakin mempertegas pentingnya evaluasi dan perbaikan kebijakan terkait pembiayaan layanan KB dalam JKN.

Analisis lebih lanjut dalam penelitian ini mengungkap beberapa hal menarik lainnya. Pertama, jenis asuransi kesehatan yang dimiliki turut mempengaruhi pengeluaran biaya sendiri. Peserta JKN non-subsidi dan asuransi swasta memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menanggung biaya kontrasepsi dibandingkan peserta JKN subsidi. Kedua, jenis alat kontrasepsi yang digunakan juga menjadi faktor. Pengguna metode kontrasepsi jangka pendek, seperti pil atau kondom, ternyata lebih sering mengeluarkan biaya sendiri dibandingkan pengguna metode jangka panjang seperti IUD (Intrauterine Device) atau implan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan yang baik. Akses yang mudah dan terjangkau ke layanan KB menjadi salah satu faktor penentu tercapainya tujuan ini. Dengan demikian, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan terpenuhinya subsidi layanan KB bagi seluruh peserta JKN, serta mendorong penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang yang lebih hemat biaya. Kerja sama lintas sektoral antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan organisasi masyarakat sipil juga diperlukan untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya KB.

Harapannya, melalui perbaikan kebijakan dan peningkatan literasi kesehatan reproduksi, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita tercapainya kesehatan reproduksi yang berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:01

Referensi:
Sulistiawan, D., Lazuardi, L., Biljers Fanda, R., Asrullah, M., Matahari, R., & Arifa, R. F. (2021). Who Experience Out-of-Pocket Expenditures for Modern Contraceptive Use in Indonesian Universal Health Coverage System?. Medico-Legal Update21(3).

 

Kualitas hidup terkait kesehatan atau health related quality of life (HRQOL) merupakan salah satu indikator penting untuk memahami kesehatan anak. Melihat pentingnya kualitas hidup terkait kesehatan sebagai bagian dari kesehatan anak, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pada anak Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional berbasis komunitas yang dilakukan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dari bulan Agustus hingga November 2019. Sampel penelitian melibatkan 633 orang tua/wali dan 531 anak berusia 2-18 tahun.  Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan anak dinilai menggunakan instrumen Pediatric Quality of Life Inventory™ (Peds QL™) 4.0 Generic core scale versi Bahasa Indonesia yang telah tervalidasi, melalui laporan orang tua/wali (proxyreport) dan laporan anak secara mandiri (selfreport). 

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata kualitas hidup terkait kesehatan anak berdasarkan laporan orang tua/wali adalah 93.3 dari total skor 100 (SD=6.4) dan laporan anak secara mandiri adalah 89.9 dari total skor 100 (SD=8.5). Ditemukan terdapat korelasi moderat antara laporan orang tua/wali dan laporan anak secara mandiri. Analisis regresi multivariat berdasarkan laporan orang tua/wali menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan anak yang lebih rendah dikaitkan dengan adanya masalah kesehatan akut, usia lebih muda, riwayat berat badan lahir rendah, persalinan abnormal, tingkat pendidikan ayah yang lebih rendah, dan penggunaan asuransi kesehatan pemerintah untuk keluarga prasejahtera. 

Penelitian ini menemukan bahwa determinan sosiodemografi anak, masalah kesehatan akut, dan berat badan lahir rendah berpengaruh terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada populasi anak secara umum. Negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, memiliki tingkat infeksi akut dan berat badan lahir rendah masih prevalen, upaya pencegahan dan intervensi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan anak secara menyeluruh. 

Temuan penelitian ini dapat mendukung beberapa pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya yaitu SDG 3 Kesehatan dan Kesejahteraan yaitu meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal, SDG 4 Pendidikan Berkualitas yaitu anak dengan kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih rendah mungkin mengalami kesulitan dalam belajar dan mencapai potensi penuh mereka di sekolah, dan SDG 10 Mengurangi Kesenjangan yaitu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak harus difokuskan pada kelompok yang paling rentan, seperti anak-anak dari keluarga prasejahtera. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat mendorong upaya kolektif dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak di Indonesia dan mencapai pembangunan kesehatan berkelanjutan.

Penulis: Alfianto Hanafiah
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Sitaresmi, M. N., Indraswari, B. W., Rozanti, N. M., Sabilatuttaqiyya, Z., & Wahab, A. (2022). Health-related quality of life profile of Indonesian children and its determinants: a community-based study. BMC pediatrics22(1), 103.

 

Gigi berlubang atau karies gigi adalah penyakit yang menyerang jaringan keras gigi. Gigi berlubang disebabkan oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Karies gigi bisa terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, tak terkecuali remaja. Penelitian tersarang di Health and Demographic Surveillance System (HDSS) yang diketuai oleh Bambang Priyono dkk menemukan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

Penelitian tersebut meneliti hubungan antara tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dan kondisi sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 275 remaja di Kabupaten Sleman dan menggunakan metode survei analitik dengan desain potong lintang yang dengan responden merupakan remaja berusia 13-15 tahun.  Para peneliti mengukur risiko gigi berlubang menggunakan suatu metode yang mempertimbangkan 10 variabel, termasuk faktor perilaku dan kebiasaan makan. 

Meskipun prevalensi gigi berlubang di kedua kelompok – perkotaan (70,7%) dan pedesaan (81,95%) – terbilang tinggi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara faktor tempat tinggal dan kondisi sosio ekonomi orang tua terhadap kejadian karies gigi pada remaja.  Artinya, remaja yang tinggal di perkotaan atau pedesaan, serta yang berasal dari keluarga dengan ekonomi beragam, memiliki risiko gigi berlubang yang serupa. 

Meskipun Kabupaten Sleman merupakan daerah berkembang dan memiliki wilayah perkotaan dan pedesaan, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan status sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja. 

Temuan ini mematahkan anggapan umum bahwa remaja di perkotaan atau dari keluarga dengan ekonomi lebih baik memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah.  Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain, di luar tempat tinggal dan ekonomi orang tua, berperan lebih besar dalam mempengaruhi risiko gigi berlubang pada remaja. 

Para peneliti menduga faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi mulut, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis, serta akses ke layanan kesehatan gigi yang tidak memadai, mungkin menjadi faktor yang lebih dominan. 

Temuan penelitian ini memberikan beberapa gambaran upaya untuk mendukung tercapainya beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya: 

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik): Mempromosikan kesehatan mulut yang baik dan mencegah gigi berlubang berkontribusi langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, sejalan dengan fokus SDG 3 untuk memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendidik masyarakat tentang pentingnya kebersihan mulut dan kebiasaan makan sehat sejalan dengan tujuan SDG 4 untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
  • SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan): Menyorot kebutuhan akan akses yang sama ke perawatan gigi untuk mengatasi tujuan pengurangan kesenjangan di dalam dan antar negara (SDG 10) dengan memastikan semua remaja memiliki kesempatan untuk kesehatan mulut yang baik.
  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mulut di daerah perkotaan dan pedesaan berkontribusi pada penciptaan kota dan komunitas yang berkelanjutan dan inklusif (SDG 11) dengan mengatasi disparitas kesehatan dan mendorong kesejahteraan bagi semua penduduk.

Dengan memahami faktor-faktor risiko yang sebenarnya, upaya pencegahan dan penanganan gigi berlubang pada remaja dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.  Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak dini, serta memilih pola makan yang sehat.  Selain itu, perlu dipastikan adanya akses yang setara terhadap layanan kesehatan gigi bagi semua remaja, terlepas dari latar belakang mereka.

 

Penulis: Wing Ma Intan
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 13 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Priyono, B., Kusnanto, H., Supartinah, A., & Pramono, D. (2016). Correlation between predictions to get a new dental caries with residence area and parental socio-economic conditions in adolescents in Sleman DIY. Majalah Kedokteran Gigi49(3), 115-119.