Tag Archive for: Well-being

Penelitian terbaru di Kabupaten Sleman menemukan bahwa lansia dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) tinggi, terutama obesitas, memiliki risiko penurunan daya kognitif yang lebih rendah dibandingkan dengan lansia dengan berat badan normal. Penelitian tersebut menggunakan desain potong lintang yang melibatkan 143 lansia di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan obesitas memiliki risiko 40% lebih rendah mengalami penurunan daya kognitif dibandingkan dengan lansia dengan berat badan normal.

Analisis data menunjukkan bahwa usia lanjut meningkatkan risiko penurunan kognitif hingga 3,5 kali lipat. Namun, lansia dengan IMT tinggi memiliki risiko penurunan kognitif yang lebih rendah. Perbandingan ini memperkuat hipotesis tentang adanya “mekanisme sebab-akibat terbalik” antara IMT dan fungsi kognitif pada lansia di Indonesia, sesuai dengan penelitian di negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Namun penelitian di Kabupaten Sleman ini memperkuat hipotesis tersebut.

Hal tersebut bisa terjadi karena obesitas atau IMT yang tinggi pada lansia disebabkan oleh massa otot yang lebih besar atau peningkatan akumulasi lemak di area selain perut, misalnya masa lemak di kaki. Semakin banyaknya massa lemak pada kaki di lansia berkaitan dengan peningkatan perbaikan metabolisme gula yang dapat mengurangi risiko gangguan kognitif pada lansia.

Hasil penelitian ini mendukung beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) berikut:

  1. SDG 3: Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan
    Temuan bahwa obesitas pada lansia dapat berperan dalam melindungi fungsi kognitif menunjukkan perlunya pendekatan holistik dalam mempromosikan kesehatan pada usia lanjut. Ini tidak hanya mencakup penurunan berat badan, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memengaruhi kualitas hidup lansia, sesuai dengan tujuan SDG3.
  2. SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
    Penelitian ini juga dapat menjadi inspirasi dalam mendukung SDG 17, dimana kolaborasi lintas sektor antara peneliti, tenaga kesehatan, dan pemerintah diperlukan untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan antara IMT tinggi dan kesehatan kognitif. Pendekatan kolaboratif ini dapat menjadi dasar bagi kebijakan kesehatan yang lebih inklusif dan kontekstual, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.

Penelitian lanjutan diperlukan untuk memahami mekanisme ini dan menegaskan hubungan antara IMT tinggi dan kesehatan kognitif. Meskipun demikian, menjaga gaya hidup sehat tetap penting bagi kesejahteraan lansia secara keseluruhan agar dapat mendukung tercapainya SDG3 dan SDG17 yang mendorong kolaborasi untuk peningkatan kualitas hidup lansia.

Penulis: Kadharmestan Gilang Pratama
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:01

Referensi:
Vidyanti, A. N., Hardhantyo, M., Wiratama, B. S., Prodjohardjono, A., & Hu, C.-J. (2020). Obesity Is Less Frequently Associated with Cognitive Impairment in Elderly Individuals: A Cross-Sectional Study in Yogyakarta, Indonesia. Nutrients, 12(367).

Proyek Women’s Health Incubator (WHInc) merupakan inisiatif yang diinisiasi oleh Monash University Malaysia, dengan tujuan utama untuk memperkuat infrastruktur dan kolaborasi dalam upaya memperluas dampak positif yang dapat dikontribusikan berbagai health and demographic surveillance system (HDSS) yang ada di Asia. Beberapa HDSS yang terlibat dalam proyek ini antara lain HDSS Sleman dari Indonesia, SEACO dari Malaysia, dan Matlab dari Bangladesh.

Proyek WHInc berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah Malaysia serta beberapa perguruan tinggi ternama, seperti International Centre for Diarrhoeal Disease ResearchBangladesh, Universitas Gadjah Mada (UGM), University of Malaya Malaysia, dan University of Cambridge (MRC Epidemiology Unit) dari Inggris. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan strategi-strategi inovatif yang mampu meningkatkan kesehatan wanita di Asia, terutama di daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.

Proyek ini terdiri dari lima fase utama, yaitu Envisioning Workshop, Process Exploration, Synthesis and Project Engagement, Validation Visits to HDSSs, dan Reflection and Dissemination. Fase awal dari proyek ini adalah pelaksanaan Envisioning Workshop yang telah dilakukan secara hybrid pada 13 dan 14 Juni 2024. Workshop ini mengundang tiga HDSS, yaitu HDSS Sleman, SEACO Malaysia, dan Matlab Bangladesh, yang bersama-sama mendiskusikan potensi kolaborasi masing-masing HDSS dengan pemangku kepentingan dalam mendukung peningkatan kesehatan perempuan.

Dalam workshop ini, HDSS Sleman berkesempatan untuk menyampaikan potensi kolaborasi yang dimiliki selama 10 tahun dalam mengidentifikasi dan mendukung peningkatan kesehatan perempuan. Hal ini sangat relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) SDG3 yaitu “Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan” yang menekankan pentingnya memastikan kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Selain itu, proyek ini juga mendukung pencapaian SDG5 yaitu “Kesetaraan Gender,” dengan berfokus pada peningkatan kesehatan wanita yang merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Selain itu, proyek WHInc juga mencerminkan komitmen terhadap SDG17, “Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.” Proyek ini merupakan contoh nyata upaya kemitraan global dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan dengan menggabungkan kekuatan berbagai negara dan lembaga untuk mencapai hasil yang lebih besar dan lebih berdampak. Kolaborasi lintas batas ini dapat memperkuat kapasitas setiap pihak yang terlibat dan memaksimalkan efektivitas inisiatif kesehatan di Asia.

Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan proyek WHInc dapat memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kesehatan wanita di Asia, sekaligus memperkuat kolaborasi antarnegara dan lembaga dalam bidang kesehatan. Proyek ini diharapkan menjadi langkah awal yang signifikan dalam upaya mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di kawasan Asia.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Dokumentasi: Naufal Farah Azizah

Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sleman mengungkap berbagai faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan pemberian ASI eksklusif dan dilakukan melalui studi cross-sectional menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman Siklus 1 dan 2. Sampel penelitian terdiri dari 218 ibu dengan anak berusia 7 hingga kurang dari 24 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan serta penggunaan botol susu dan empeng memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki asuransi kesehatan cenderung 2,14 kali lebih mungkin untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, bayi yang tidak pernah menggunakan botol susu atau empeng sebelum usia 6 bulan, 5,14 kali lebih mungkin menerima ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang menggunakan botol atau empeng sebelum usia tersebut.

Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa usia ibu, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi ibu tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan faktor-faktor seperti kepemilikan asuransi kesehatan dan kebiasaan penggunaan botol dan empeng.

Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan botol susu dan empeng merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu, cakupan asuransi kesehatan, terutama untuk ibu hamil dan menyusui, perlu ditingkatkan. Selain itu, program promosi kesehatan yang efektif terkait dengan pemberian ASI eksklusif juga harus diperkuat.

Penelitian ini juga menyoroti perlunya analisis data yang lebih mendalam mengenai pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Sleman. Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi praktik ini dapat membantu dalam merancang intervensi yang lebih efektif untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah ini.

Penelitian ini sejalan dengan Sustainable Developments Goals (SDGs) yang terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan (SDG3) serta pengentasan kemiskinan (SDG1). Peningkatan cakupan asuransi kesehatan dan promosi pemberian ASI eksklusif tidak hanya meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat yang luas, termasuk peningkatan kekebalan tubuh bayi, pencegahan berbagai penyakit, dan penguatan ikatan emosional antara ibu dan anak. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong praktik ini harus terus ditingkatkan melalui kebijakan dan program yang tepat sasaran.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 18 Juli 2024 jam 14:20

Referensi: Dwicahyani, S., & Prabandari, Y. S. (2017). Determinan pemberian ASI eksklusif di Sleman. BKM Journal of Community Medicine and Public Health, 33(8).

Metode otopsi verbal terbukti efektif dalam mengungkap penyebab kematian di Sleman. Lebih banyak perempuan meninggal dibandingkan laki-laki selama periode 2014-2017. Mayoritas kematian terjadi pada individu berusia 65 tahun ke atas. Sebagian besar kematian disebabkan oleh faktor alami.

Kematian adalah peristiwa alamiah yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Memahami konteks dan faktor yang menyertainya memiliki signifikansi penting dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan dan kebijakan. Verbal autopsy (otopsi verbal) merupakan metode yang digunakan untuk menentukan penyebab kematian melalui wawancara dengan keluarga dekat atau pengasuh orang yang meninggal. 

Wawancara ini melibatkan pengisian kuesioner standar untuk mengumpulkan informasi tentang gejala, riwayat medis, dan keadaan sebelum kematian. Kemudian Algoritma yang dibuat profesional kesehatan digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi informasi penyebab kematian yang paling mungkin. Tujuan utama dari verbal autopsy adalah untuk menggambarkan penyebab kematian pada tingkat komunitas atau populasi di daerah di mana sertifikat kematian medis belum tersedia. 

Studi terbaru yang menggunakan data dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman menggali berbagai aspek kematian dengan memanfaatkan verbal autopsy (otopsi verbal) sebagai instrumen yang valid. Sebuah penelitian terbaru menggunakan metode observasional dilakukan untuk menganalisis data kematian yang terdokumentasikan dalam otopsi verbal selama empat tahun, dari 2014 hingga 2017. Studi ini memberikan wawasan menarik tentang pola dan penyebab kematian.

Studi ini menggunakan analisis statistik deskriptif untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang lanskap kematian di Sleman. Penggunaan data otopsi verbal terbukti sangat efektif dalam membedakan antara kematian alami dan tidak alami, dan menunjukkan keunggulan otopsi verbal sebagai alat untuk analisis kematian yang komprehensif.

Salah satu temuan penting adalah distribusi jenis kelamin dalam kasus kematian dari tahun 2014 hingga 2017, yang menunjukkan bahwa penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak meninggal daripada laki-laki. Studi ini juga mengungkap bahwa sebagian besar kematian terjadi pada individu yang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini menunjukkan perlunya intervensi kesehatan yang sesuai untuk populasi lanjut usia.

Mayoritas kematian yang tercatat merupakan kematian alami, yang berhubungan dengan proses penuaan dan penyakit terkait usia. Namun, beberapa kasus menyoroti kematian tidak alami yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kecelakaan lalu lintas, tenggelam, pembunuhan, dan lain-lain. Diketahui bahwa jumlah kasus kematian tidak alami tertinggi terjadi pada tahun 2014. Hal ini mengindikasikan potensi area untuk meningkatkan keselamatan publik dimana terdapat kasus kematian yang tidak dapat ditentukan penyebabnya, dengan jumlah tertinggi tercatat pada tahun 2017. Selain itu juga menggambarkan kompleksitas beberapa kasus kematian dan perlunya penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan penyebabnya dengan tepat.

Penelitian terkait verbal autopsy juga berhubungan erat dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu agenda global untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan yang baik (SDG 3) dan menjamin pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil (SDG 4). Dengan memahami pola kematian, studi ini dapat membantu membentuk kebijakan yang dapat meningkatkan kesehatan publik, dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam mencapai masyarakat yang lebih sehat. Penelitian terkait verbal autopsy seperti ini sangat penting untuk menghadapi kompleksitas kematian, dan membuka jalan bagi strategi berbasis bukti untuk meningkatkan sistem kesehatan, memperkuat langkah-langkah keselamatan publik, dan pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.

Penulis: Caesaria Dewi Fitriani
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Sumber:
Using Sleman’s Verbal Autopsy Health and Demographic Surveillance Data to Distinguish Ways of Death. (2021). Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 15(3), 2685-2692.

Studi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menguak fakta mengkhawatirkan: tingginya angka kekurangan gizi pada anak usia di bawah lima tahun. Temuan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang bagi kesehatan dan tumbuh kembang. Studi ini juga membahas pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. 

Para peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa praktik pemberian makan merupakan faktor utama yang memengaruhi status gizi anak usia 0-59 bulan. Pemberian makanan yang baik berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak secara keseluruhan. Studi terbaru yang dilakukan di Sleman, Yogyakarta, menyelidiki hubungan antara praktik pemberian makan dan status gizi pada anak usia di bawah lima tahun. 

Penelitian ini melibatkan 185 anak berusia 7-59 bulan responden Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Status gizi anak dinilai berdasarkan pengukuran antropometri (berat dan tinggi badan), sementara praktik pemberian makan diperoleh melalui kuesioner terstandar. 

Hasil penelitian menunjukkan angka yang memprihatinkan terkait kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan berat badan menurut umur (BAZ/WAZ), prevalensi anak yang kekurangan gizi (underweight) mencapai 12.5%. Selain itu, prevalensi stunting (tubuh pendek) berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/HAZ) mencapai 39.5% dan prevalensi kurus berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB/WHZ) sebesar 5.4%. 

Meskipun demikian, studi ini menemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki praktik pemberian makan yang tergolong baik. Hal ini terlihat dari praktik pemberian ASI (95.7%), pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) (70.8%), perilaku pemberian makan (64.3%), dan frekuensi pemberian makan minimal 3 kali sehari (78.9%). Namun, sebanyak 54.1% anak mulai menerima MPASI sebelum usia 6 bulan, yang menandakan terganggunya pemberian ASI eksklusif. 

Secara mengejutkan, penelitian ini tidak menemukan hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak berdasarkan BAZ, TB, dan BB/TB. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa praktik pemberian makan yang baik berperan penting dalam memastikan kecukupan asupan gizi dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. 

Hasil studi ini dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs) dengan memberikan gambaran praktik pemberian makan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dalam peningkatan mutu kualitas individu. Beberapa Goal yang dapat didukung yaitu:

  1. SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Memberikan gambaran untuk perbaikan situasi kekurangan gizi anak
  2. SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera): Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan peningkatan status gizi anak
  3. SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendorong masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan edukasi masyarakat terkait praktik pemberin makan pada anak
  4. SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan): Mendorong kemitraan masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pemerintah untuk meningkatkan status gizi anak. 

Studi ini memberikan gambaran tentang pentingnya pemenuhan gizi pada anak usia dini, terlepas dari temuan tidak adanya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. Orang tua dan pengasuh anak perlu terus berupaya memberikan makanan bergizi seimbang sesuai usia anak, serta berkonsultasi dengan tenaga kesehatan untuk memantau tumbuh kembang anak secara berkala.

Referensi:
Palupi, I. R., Meltica, R., & Faza, F. (2019). Research Article Feeding Practices and Nutritional Status among Children Under Five Years of Age in Sleman District, Yogyakarta, Indonesia.

Penulis: Rahayu Kia Sandi Cahaya Putri
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.

 

Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa orang yang berusia kurang dari 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami cedera akibat kecelakaan motor. Hasil studi ini menyoroti pentingnya pemahaman akan faktor-faktor demografi dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor.

Sebuah penelitian yang menganalisis data sekunder HDSS Sleman tahun 2015 dan 2016 menemukan bahwa cedera akibat kecelakaan motor cenderung lebih tinggi pada orang-orang yang berusia kurang dari 45 tahun (69,7%). Selain itu, mayoritas korban cedera berjenis kelamin laki-laki (54,3%).

Meskipun faktor usia menunjukkan hubungan signifikan dengan risiko cedera, penelitian ini tidak menemukan korelasi antara jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, domisili perkotaan, dan status sosial ekonomi dengan parahnya cedera. Hal menarik dari penelitian ini adalah usia secara statistik berhubungan dengan status cedera. Kelompok usia di atas atau sama dengan 45 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami cedera serius.

Penemuan ini memunculkan pertanyaan penting mengenai perlunya pengembangan program kesehatan yang lebih khusus untuk mengurangi risiko cedera yang parah. Program tersebut dapat diintegrasikan dengan program kesehatan yang sudah ada untuk lansia, khususnya yang menyoroti pentingnya keseimbangan dan refleks mengendara yang menurun seiring bertambahnya usia. Dengan demikian, program ini dapat menjangkau kelompok usia yang paling rentan mengalami cedera dalam hal ini usia kurang dari 45 tahun.

Penelitian ini juga memiliki implikasi yang signifikan dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 3, yaitu kesejahteraan dan kesehatan bagi semua orang. Dengan memahami karakteristik cedera akibat kecelakaan motor, kita dapat merancang kebijakan dan program-program intervensi yang lebih efektif dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Sementara itu, para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan temuan ini dalam merumuskan langkah-langkah yang lebih efektif dalam melindungi masyarakat dari cedera akibat kecelakaan motor. Dengan demikian, keselamatan di jalan raya bisa menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat bisa terjamin lebih baik pula.

Penting diingat bahwa berkendara motor memiliki risiko kecelakaan yang lebih tinggi dibandingkan mobil. Selalu mengutamakan keselamatan, dengan mematuhi aturan lalu lintas, menggunakan helm SNI, dan memperhatikan kondisi kendaraan sebelum berkendara. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkendara secara aman, angka kecelakaan dan cedera akibat kecelakaan motor dapat diminimalisasi.

 

Penulis: Asy’shifa Wijayanty
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:06

Referensi:
Mariana, A. T., & Dewi, F. S. T. (2018). Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Sleman: data HDSS 2015 dan 2016. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), 230-235.

 

Akses ke layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas merupakan hak asasi setiap orang, termasuk kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi modern. Namun, kenyataannya, tak sedikit pasangan usia subur di Indonesia yang masih terkendala biaya saat ingin menggunakan alat kontrasepsi.

Penelitian terbaru yang memanfaatkan data sekunder Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman menyorot temuan menarik terkait hal ini. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan ini menunjukkan bahwa lebih dari 70% peserta yang terdaftar dalam program jaminan kesehatan tetap perlu mengeluarkan biaya sendiri untuk mengakses alat kontrasepsi.

Temuan ini mencengangkan, mengingat tujuan utama integrasi program Keluarga Berencana (KB) ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk meningkatkan akses dan mengurangi beban finansial masyarakat. Studi ini pun semakin mempertegas pentingnya evaluasi dan perbaikan kebijakan terkait pembiayaan layanan KB dalam JKN.

Analisis lebih lanjut dalam penelitian ini mengungkap beberapa hal menarik lainnya. Pertama, jenis asuransi kesehatan yang dimiliki turut mempengaruhi pengeluaran biaya sendiri. Peserta JKN non-subsidi dan asuransi swasta memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menanggung biaya kontrasepsi dibandingkan peserta JKN subsidi. Kedua, jenis alat kontrasepsi yang digunakan juga menjadi faktor. Pengguna metode kontrasepsi jangka pendek, seperti pil atau kondom, ternyata lebih sering mengeluarkan biaya sendiri dibandingkan pengguna metode jangka panjang seperti IUD (Intrauterine Device) atau implan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan yang baik. Akses yang mudah dan terjangkau ke layanan KB menjadi salah satu faktor penentu tercapainya tujuan ini. Dengan demikian, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan terpenuhinya subsidi layanan KB bagi seluruh peserta JKN, serta mendorong penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang yang lebih hemat biaya. Kerja sama lintas sektoral antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan organisasi masyarakat sipil juga diperlukan untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya KB.

Harapannya, melalui perbaikan kebijakan dan peningkatan literasi kesehatan reproduksi, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita tercapainya kesehatan reproduksi yang berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:01

Referensi:
Sulistiawan, D., Lazuardi, L., Biljers Fanda, R., Asrullah, M., Matahari, R., & Arifa, R. F. (2021). Who Experience Out-of-Pocket Expenditures for Modern Contraceptive Use in Indonesian Universal Health Coverage System?. Medico-Legal Update21(3).

 

Kualitas hidup terkait kesehatan atau health related quality of life (HRQOL) merupakan salah satu indikator penting untuk memahami kesehatan anak. Melihat pentingnya kualitas hidup terkait kesehatan sebagai bagian dari kesehatan anak, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pada anak Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional berbasis komunitas yang dilakukan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dari bulan Agustus hingga November 2019. Sampel penelitian melibatkan 633 orang tua/wali dan 531 anak berusia 2-18 tahun.  Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan anak dinilai menggunakan instrumen Pediatric Quality of Life Inventory™ (Peds QL™) 4.0 Generic core scale versi Bahasa Indonesia yang telah tervalidasi, melalui laporan orang tua/wali (proxyreport) dan laporan anak secara mandiri (selfreport). 

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata kualitas hidup terkait kesehatan anak berdasarkan laporan orang tua/wali adalah 93.3 dari total skor 100 (SD=6.4) dan laporan anak secara mandiri adalah 89.9 dari total skor 100 (SD=8.5). Ditemukan terdapat korelasi moderat antara laporan orang tua/wali dan laporan anak secara mandiri. Analisis regresi multivariat berdasarkan laporan orang tua/wali menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan anak yang lebih rendah dikaitkan dengan adanya masalah kesehatan akut, usia lebih muda, riwayat berat badan lahir rendah, persalinan abnormal, tingkat pendidikan ayah yang lebih rendah, dan penggunaan asuransi kesehatan pemerintah untuk keluarga prasejahtera. 

Penelitian ini menemukan bahwa determinan sosiodemografi anak, masalah kesehatan akut, dan berat badan lahir rendah berpengaruh terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada populasi anak secara umum. Negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, memiliki tingkat infeksi akut dan berat badan lahir rendah masih prevalen, upaya pencegahan dan intervensi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan anak secara menyeluruh. 

Temuan penelitian ini dapat mendukung beberapa pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya yaitu SDG 3 Kesehatan dan Kesejahteraan yaitu meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal, SDG 4 Pendidikan Berkualitas yaitu anak dengan kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih rendah mungkin mengalami kesulitan dalam belajar dan mencapai potensi penuh mereka di sekolah, dan SDG 10 Mengurangi Kesenjangan yaitu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak harus difokuskan pada kelompok yang paling rentan, seperti anak-anak dari keluarga prasejahtera. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat mendorong upaya kolektif dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak di Indonesia dan mencapai pembangunan kesehatan berkelanjutan.

Penulis: Alfianto Hanafiah
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Sitaresmi, M. N., Indraswari, B. W., Rozanti, N. M., Sabilatuttaqiyya, Z., & Wahab, A. (2022). Health-related quality of life profile of Indonesian children and its determinants: a community-based study. BMC pediatrics22(1), 103.

 

Gigi berlubang atau karies gigi adalah penyakit yang menyerang jaringan keras gigi. Gigi berlubang disebabkan oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Karies gigi bisa terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, tak terkecuali remaja. Penelitian tersarang di Health and Demographic Surveillance System (HDSS) yang diketuai oleh Bambang Priyono dkk menemukan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

Penelitian tersebut meneliti hubungan antara tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dan kondisi sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 275 remaja di Kabupaten Sleman dan menggunakan metode survei analitik dengan desain potong lintang yang dengan responden merupakan remaja berusia 13-15 tahun.  Para peneliti mengukur risiko gigi berlubang menggunakan suatu metode yang mempertimbangkan 10 variabel, termasuk faktor perilaku dan kebiasaan makan. 

Meskipun prevalensi gigi berlubang di kedua kelompok – perkotaan (70,7%) dan pedesaan (81,95%) – terbilang tinggi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara faktor tempat tinggal dan kondisi sosio ekonomi orang tua terhadap kejadian karies gigi pada remaja.  Artinya, remaja yang tinggal di perkotaan atau pedesaan, serta yang berasal dari keluarga dengan ekonomi beragam, memiliki risiko gigi berlubang yang serupa. 

Meskipun Kabupaten Sleman merupakan daerah berkembang dan memiliki wilayah perkotaan dan pedesaan, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan status sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja. 

Temuan ini mematahkan anggapan umum bahwa remaja di perkotaan atau dari keluarga dengan ekonomi lebih baik memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah.  Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain, di luar tempat tinggal dan ekonomi orang tua, berperan lebih besar dalam mempengaruhi risiko gigi berlubang pada remaja. 

Para peneliti menduga faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi mulut, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis, serta akses ke layanan kesehatan gigi yang tidak memadai, mungkin menjadi faktor yang lebih dominan. 

Temuan penelitian ini memberikan beberapa gambaran upaya untuk mendukung tercapainya beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya: 

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik): Mempromosikan kesehatan mulut yang baik dan mencegah gigi berlubang berkontribusi langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, sejalan dengan fokus SDG 3 untuk memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendidik masyarakat tentang pentingnya kebersihan mulut dan kebiasaan makan sehat sejalan dengan tujuan SDG 4 untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
  • SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan): Menyorot kebutuhan akan akses yang sama ke perawatan gigi untuk mengatasi tujuan pengurangan kesenjangan di dalam dan antar negara (SDG 10) dengan memastikan semua remaja memiliki kesempatan untuk kesehatan mulut yang baik.
  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mulut di daerah perkotaan dan pedesaan berkontribusi pada penciptaan kota dan komunitas yang berkelanjutan dan inklusif (SDG 11) dengan mengatasi disparitas kesehatan dan mendorong kesejahteraan bagi semua penduduk.

Dengan memahami faktor-faktor risiko yang sebenarnya, upaya pencegahan dan penanganan gigi berlubang pada remaja dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.  Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak dini, serta memilih pola makan yang sehat.  Selain itu, perlu dipastikan adanya akses yang setara terhadap layanan kesehatan gigi bagi semua remaja, terlepas dari latar belakang mereka.

 

Penulis: Wing Ma Intan
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 13 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Priyono, B., Kusnanto, H., Supartinah, A., & Pramono, D. (2016). Correlation between predictions to get a new dental caries with residence area and parental socio-economic conditions in adolescents in Sleman DIY. Majalah Kedokteran Gigi49(3), 115-119.