Tag Archive for: Sustainable

Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sleman mengungkap berbagai faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan pemberian ASI eksklusif dan dilakukan melalui studi cross-sectional menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman Siklus 1 dan 2. Sampel penelitian terdiri dari 218 ibu dengan anak berusia 7 hingga kurang dari 24 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan serta penggunaan botol susu dan empeng memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki asuransi kesehatan cenderung 2,14 kali lebih mungkin untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, bayi yang tidak pernah menggunakan botol susu atau empeng sebelum usia 6 bulan, 5,14 kali lebih mungkin menerima ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang menggunakan botol atau empeng sebelum usia tersebut.

Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa usia ibu, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi ibu tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan faktor-faktor seperti kepemilikan asuransi kesehatan dan kebiasaan penggunaan botol dan empeng.

Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan botol susu dan empeng merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu, cakupan asuransi kesehatan, terutama untuk ibu hamil dan menyusui, perlu ditingkatkan. Selain itu, program promosi kesehatan yang efektif terkait dengan pemberian ASI eksklusif juga harus diperkuat.

Penelitian ini juga menyoroti perlunya analisis data yang lebih mendalam mengenai pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Sleman. Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi praktik ini dapat membantu dalam merancang intervensi yang lebih efektif untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah ini.

Penelitian ini sejalan dengan Sustainable Developments Goals (SDGs) yang terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan (SDG3) serta pengentasan kemiskinan (SDG1). Peningkatan cakupan asuransi kesehatan dan promosi pemberian ASI eksklusif tidak hanya meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat yang luas, termasuk peningkatan kekebalan tubuh bayi, pencegahan berbagai penyakit, dan penguatan ikatan emosional antara ibu dan anak. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong praktik ini harus terus ditingkatkan melalui kebijakan dan program yang tepat sasaran.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 18 Juli 2024 jam 14:20

Referensi: Dwicahyani, S., & Prabandari, Y. S. (2017). Determinan pemberian ASI eksklusif di Sleman. BKM Journal of Community Medicine and Public Health, 33(8).

Studi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menguak fakta mengkhawatirkan: tingginya angka kekurangan gizi pada anak usia di bawah lima tahun. Temuan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang bagi kesehatan dan tumbuh kembang. Studi ini juga membahas pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. 

Para peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa praktik pemberian makan merupakan faktor utama yang memengaruhi status gizi anak usia 0-59 bulan. Pemberian makanan yang baik berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak secara keseluruhan. Studi terbaru yang dilakukan di Sleman, Yogyakarta, menyelidiki hubungan antara praktik pemberian makan dan status gizi pada anak usia di bawah lima tahun. 

Penelitian ini melibatkan 185 anak berusia 7-59 bulan responden Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Status gizi anak dinilai berdasarkan pengukuran antropometri (berat dan tinggi badan), sementara praktik pemberian makan diperoleh melalui kuesioner terstandar. 

Hasil penelitian menunjukkan angka yang memprihatinkan terkait kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan berat badan menurut umur (BAZ/WAZ), prevalensi anak yang kekurangan gizi (underweight) mencapai 12.5%. Selain itu, prevalensi stunting (tubuh pendek) berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/HAZ) mencapai 39.5% dan prevalensi kurus berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB/WHZ) sebesar 5.4%. 

Meskipun demikian, studi ini menemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki praktik pemberian makan yang tergolong baik. Hal ini terlihat dari praktik pemberian ASI (95.7%), pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) (70.8%), perilaku pemberian makan (64.3%), dan frekuensi pemberian makan minimal 3 kali sehari (78.9%). Namun, sebanyak 54.1% anak mulai menerima MPASI sebelum usia 6 bulan, yang menandakan terganggunya pemberian ASI eksklusif. 

Secara mengejutkan, penelitian ini tidak menemukan hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak berdasarkan BAZ, TB, dan BB/TB. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa praktik pemberian makan yang baik berperan penting dalam memastikan kecukupan asupan gizi dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. 

Hasil studi ini dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs) dengan memberikan gambaran praktik pemberian makan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dalam peningkatan mutu kualitas individu. Beberapa Goal yang dapat didukung yaitu:

  1. SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Memberikan gambaran untuk perbaikan situasi kekurangan gizi anak
  2. SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera): Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan peningkatan status gizi anak
  3. SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendorong masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan edukasi masyarakat terkait praktik pemberin makan pada anak
  4. SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan): Mendorong kemitraan masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pemerintah untuk meningkatkan status gizi anak. 

Studi ini memberikan gambaran tentang pentingnya pemenuhan gizi pada anak usia dini, terlepas dari temuan tidak adanya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. Orang tua dan pengasuh anak perlu terus berupaya memberikan makanan bergizi seimbang sesuai usia anak, serta berkonsultasi dengan tenaga kesehatan untuk memantau tumbuh kembang anak secara berkala.

Referensi:
Palupi, I. R., Meltica, R., & Faza, F. (2019). Research Article Feeding Practices and Nutritional Status among Children Under Five Years of Age in Sleman District, Yogyakarta, Indonesia.

Penulis: Rahayu Kia Sandi Cahaya Putri
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.