Tag Archive for: SDG3

Gigi berlubang atau karies gigi adalah penyakit yang menyerang jaringan keras gigi. Gigi berlubang disebabkan oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Karies gigi bisa terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, tak terkecuali remaja. Penelitian tersarang di Health and Demographic Surveillance System (HDSS) yang diketuai oleh Bambang Priyono dkk menemukan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

Penelitian tersebut meneliti hubungan antara tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dan kondisi sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 275 remaja di Kabupaten Sleman dan menggunakan metode survei analitik dengan desain potong lintang yang dengan responden merupakan remaja berusia 13-15 tahun.  Para peneliti mengukur risiko gigi berlubang menggunakan suatu metode yang mempertimbangkan 10 variabel, termasuk faktor perilaku dan kebiasaan makan. 

Meskipun prevalensi gigi berlubang di kedua kelompok – perkotaan (70,7%) dan pedesaan (81,95%) – terbilang tinggi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara faktor tempat tinggal dan kondisi sosio ekonomi orang tua terhadap kejadian karies gigi pada remaja.  Artinya, remaja yang tinggal di perkotaan atau pedesaan, serta yang berasal dari keluarga dengan ekonomi beragam, memiliki risiko gigi berlubang yang serupa. 

Meskipun Kabupaten Sleman merupakan daerah berkembang dan memiliki wilayah perkotaan dan pedesaan, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan status sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja. 

Temuan ini mematahkan anggapan umum bahwa remaja di perkotaan atau dari keluarga dengan ekonomi lebih baik memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah.  Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain, di luar tempat tinggal dan ekonomi orang tua, berperan lebih besar dalam mempengaruhi risiko gigi berlubang pada remaja. 

Para peneliti menduga faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi mulut, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis, serta akses ke layanan kesehatan gigi yang tidak memadai, mungkin menjadi faktor yang lebih dominan. 

Temuan penelitian ini memberikan beberapa gambaran upaya untuk mendukung tercapainya beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya: 

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik): Mempromosikan kesehatan mulut yang baik dan mencegah gigi berlubang berkontribusi langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, sejalan dengan fokus SDG 3 untuk memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendidik masyarakat tentang pentingnya kebersihan mulut dan kebiasaan makan sehat sejalan dengan tujuan SDG 4 untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
  • SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan): Menyorot kebutuhan akan akses yang sama ke perawatan gigi untuk mengatasi tujuan pengurangan kesenjangan di dalam dan antar negara (SDG 10) dengan memastikan semua remaja memiliki kesempatan untuk kesehatan mulut yang baik.
  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mulut di daerah perkotaan dan pedesaan berkontribusi pada penciptaan kota dan komunitas yang berkelanjutan dan inklusif (SDG 11) dengan mengatasi disparitas kesehatan dan mendorong kesejahteraan bagi semua penduduk.

Dengan memahami faktor-faktor risiko yang sebenarnya, upaya pencegahan dan penanganan gigi berlubang pada remaja dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.  Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak dini, serta memilih pola makan yang sehat.  Selain itu, perlu dipastikan adanya akses yang setara terhadap layanan kesehatan gigi bagi semua remaja, terlepas dari latar belakang mereka.

 

Penulis: Wing Ma Intan
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 13 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Priyono, B., Kusnanto, H., Supartinah, A., & Pramono, D. (2016). Correlation between predictions to get a new dental caries with residence area and parental socio-economic conditions in adolescents in Sleman DIY. Majalah Kedokteran Gigi49(3), 115-119.

 

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) merayakan Dies Natalis ke-78 tahun ini dengan meriah. Perayaan akbar ini diwarnai dengan berbagai kegiatan yang diikuti tidak hanya sivitas akademika FK-KMK tetapi juga khalayak umum. Salah satu kegiatan yang memeriahkan rangkaian Dies Natalis FK-KMK yaitu Annual Scientific Meeting (ASM) 2024.

ASM merupakan sebuah tradisi tahunan, berfungsi sebagai wadah untuk bertukar pengetahuan, berbagi temuan penelitian, dan mendorong kolaborasi di antara para ahli di bidang ilmu kesehatan. Dalam rangka memperluas jangkauan dan melibatkan audiens yang lebih luas, ASM diramaikan dengan Expo dan Talkshow.

Mengangkat tema “Precision Medicine: Dulu, Kini, dan Masa Depan”, Expo dan Talkshow ASM 2024 menghadirkan beragam pembicara untuk mengupas evolusi dan potensi dari pengobatan presisi. Tema ini menegaskan komitmen fakultas untuk memajukan perawatan kesehatan melalui penelitian mutakhir dan inovasi.

Expo ASM 2024 menampilkan berbagai unit, produk, dan anggota dari sistem kesehatan akademik FK-KMK UGM. Health and Demographic Surveillance System (HDSS) HDSS Sleman tahun ini ikut memeriahkan Dies Natalis UGM ke-78 dengan menghadirkan informasi seputar layanan HDSS Sleman di Expo ASM 2024. ASM Expo juga dimeriahkan dengan stand dari Bookstore FK-KMK, Departemen Health Policy and Management, Departemen Radiologi, Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Program Studi Doktor, UPH-LERES, PrOmics, Desa Batik Sehat Indonesia, Pokja Genetik, Aloeku by dr. Yanri, Rumah Sakit Akademik UGM, RSPAU dr. Suhardi Hardjolukito.

Keikutsertaan HDSS Sleman di Expo ASM 2024 menambah dimensi unik pada acara ini, dengan  menyorot pentingnya pemanfaatan data untuk pengambilan keputusan yang tepat dan peningkatan hasil kesehatan. Sleman HDSS memamerkan berbagai produk dan layanan, termasuk pemanfaatan data sekunder, penelitian tersarang, konsultasi penelitian dan analisis data, layanan pembuatan kuesioner penelitian digital, dan program magang.

Kerja sama HDSS Sleman dengan berbagai pihak seperti Pemerintah Kabupaten Sleman, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dan BAPPEDA menjadi contoh nyata upaya bersama untuk mengatasi tantangan kesehatan yang mendesak dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan wawasan berbasis data dan memelihara kolaborasi lintas disiplin, HDSS Sleman berkontribusi pada beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik), SGD 4 (Pendidikan Berkualitas) SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), dan SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

Perayaan Dies Natalis ke-78 FK-KMK UGM menegaskan komitmen fakultas untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan. Melalui inisiatif kolaboratif seperti HDSS Sleman, FK-KMK UGM terus menjadi yang terdepan dalam inovasi, mendorong perubahan positif, dan berkontribusi pada kemajuan agenda kesehatan global.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari

Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayi adalah rekomendasi global untuk kesehatan optimal. Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera. ASI mengandung nutrisi lengkap yang optimal untuk tumbuh kembang bayi, serta memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit infeksi. Dengan meningkatkan praktik ASI eksklusif, kita dapat berkontribusi pada kesehatan dan kesejahteraan generasi masa depan.

Realita di Kabupaten Sleman menunjukkan masih banyak tantangan dalam mencapai praktik ini. Sebuah studi oleh Safitri Dwicahyani dan Yayi Suryo Prabandari menelusuri faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Sleman.

Studi ini melibatkan 218 ibu dengan anak berusia 7 hingga 24 bulan, menggunakan data dari Siklus I dan II Health and Demographic Surveillance System  (HDSS) Sleman. Hasil olahan data menunjukkan informasi yang cukup mengejutkan: faktor dominan yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif bukanlah usia, pendidikan, atau pekerjaan ibu, melainkan kepemilikan asuransi kesehatan dan penggunaan botol/dot serta empeng.

Ibu yang memiliki asuransi kesehatan 2,14 kali lebih mungkin untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan yang tidak. Sementara bayi yang tidak pernah menggunakan botol/dot dan empeng sebelum usia 6 bulan memiliki peluang 5,14 kali lebih besar menerima ASI eksklusif.

Temuan ini menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, akses terhadap layanan kesehatan melalui asuransi berdampak positif pada pemberian ASI eksklusif. Kedua, penggunaan botol/dot dan empeng di usia dini dapat menjadi penghambat. Hal ini bisa karena bayi menjadi lebih mudah kenyang dan malas menyusu, atau karena ibu merasa produksinya tidak cukup.

Studi ini juga menyoroti pentingnya program promosi dan edukasi yang efektif terkait manfaat dan teknik pemberian ASI eksklusif. Ibu perlu dibekali dengan pengetahuan yang tepat mengenai menyusui, serta dukungan untuk mengatasi tantangan yang mungkin muncul.

Studi ini memberikan landasan untuk merumuskan kebijakan dan program kesehatan yang lebih tepat sasaran. Peningkatan cakupan asuransi kesehatan, edukasi dan dukungan untuk ibu menyusui, serta pembatasan pemasaran produk pengganti ASI, dapat menjadi strategi untuk mendorong peningkatan praktik ASI eksklusif di Sleman dan Indonesia secara keseluruhan.

 

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 26 Februari 2024 jam 15:05

 

Referensi:
Dwicahyani, S., & Prabandari, Y. S. (2017). Determinan pemberian ASI eksklusif di Sleman. Berita Kedokteran Masyarakat, 33(8), 391-396.

 

Pandemi COVID-19 telah melumpuhkan roda perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Sleman, Yogyakarta, dampak ekonomi dirasakan khususnya oleh masyarakat miskin. Sebuah studi terbaru yang menganalisis data dari Sleman Health and Demographic Surveillance System (HDSS) periode September-Oktober 2020 mengungkap gambaran suram ini.

Analisis yang dilakukan oleh Firdaus Hafidz dkk. ini melibatkan 1.516 responden HDSS. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 60% merasakan pukulan ekonomi akibat pandemi. Namun, yang paling terdampak adalah mereka yang berada di kelompok sosial ekonomi bawah (45,8% dari total responden). Kelompok ini 2,5 hingga 3 kali lebih cemas kehilangan pekerjaan, memenuhi kebutuhan dasar, dan melunasi kewajiban finansial dibandingkan dengan kelompok ekonomi atas.

Tak hanya ketakutan, dampak nyata pun dirasakan. Sebanyak 3% responden dari kelompok sosial ekonomi bawah mengalami PHK atau kehilangan pekerjaan. Kegelisahan ini beralasan, mengingat mereka lebih rentan terdampak pembatasan aktivitas selama pandemi.

 

Bantuan Pemerintah: Jangkauan dan Harapan

Meski dihadapkan pada kesulitan, bantuan pemerintah berupa uang tunai, voucher makanan, dan keringanan kewajiban finansial menjadi titik terang. Kelompok ekonomi bawah memiliki peluang 2-3 kali lebih besar menerima bantuan ini dibandingkan kelompok atas. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat rentan.

 

Data dan Respon Cepat: Kunci Perlindungan

Studi ini menyoroti pentingnya data akurat dan respon cepat pemerintah dalam melindungi masyarakat miskin. Dengan data yang tepat, pemerintah dapat mengidentifikasi kelompok yang paling membutuhkan dan menyalurkan bantuan secara efektif. Respon cepat juga diperlukan agar bantuan bisa segera diterima dan meringankan beban masyarakat.

 

Mewujudkan SDGs: Jalan Terjal tapi Tak Mustahil

Temuan studi ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) goal 3, yaitu memastikan kehidupan sehat dan sejahtera bagi semua orang. Pandemi COVID-19 telah menguji komitmen kita terhadap poin ini, khususnya dalam melindungi kelompok rentan. Meskipun jalan masih terjal, dengan data yang akurat, respon cepat, dan kebijakan yang tepat sasaran, kita bisa berharap untuk mewujudkan SDG3 dan membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua.

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi dibuat menggunakan AI ∙ 23 Februari 2024 jam 15:43

 

Referensi:
Hafidz, F., Fachiroh, J., Bintoro, B. S., Wicaksana, A. L., Qaimamunazzala, H., Rosha, P. T., … & Wardani, R. K. (2022). Economic Impact of the Coronavirus Disease-2019 Pandemic: Sleman Health and Demographic Surveillance System Individual Panel Secondary Data Analysis. Malaysian Journal of Medicine & Health Sciences, 18.

 

Dalam upaya bersama untuk meningkatkan pemanfaatan kekayaan data yang dikumpulkan oleh Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, diadakan pertemuan guna membahas berbagai strategi yang mungkin dilakukan. Salah satu strategi utama adalah mendorong pemanfaatan data sekunder HDSS Sleman oleh peneliti dan mahasiswa. Langkah ini diharapkan dapat menghasilkan penelitian berkualitas, bermanfaat bagi masyarakat, serta mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Pertemuan ini melibatkan divisi ilmiah, divisi pemanfaatan data, dan tim manajemen data.

Tujuan utama pertemuan ini ada dua: untuk mengidentifikasi topik penelitian potensial yang dapat memanfaatkan data sekunder dari HDSS Sleman dan untuk menetapkan target jurnal ilmiah untuk publikasi. Dengan pemikiran ini, para peserta terlibat dalam diskusi yang kuat yang bertujuan untuk menghasilkan beragam judul penelitian yang cocok untuk dijelajahi oleh mahasiswa dan peneliti.

Selama pertemuan, hampir 50 judul penelitian muncul, mencakup berbagai topik kesehatan masyarakat termasuk kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, kualitas hidup, sosioekonomi, cedera, konsumsi, kesehatan jiwa, autopsi verbal, dan akses layanan kesehatan. Dari menyelidiki tren prevalensi penyakit hingga mengeksplorasi faktor penentu penggunaan layanan kesehatan, judul penelitian yang diusulkan mencerminkan sifat multifaset dari masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Kabupaten Sleman.

Diskusi tersebut menekankan pentingnya menyelaraskan upaya penelitian dengan SDGs, yang berfungsi sebagai cetak biru global untuk mengatasi tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendesak. Beberapa SDGs diidentifikasi sebagai yang relevan secara khusus dengan upaya pemanfaatan data HDSS Sleman, termasuk:

SDG 3: Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik – Dengan memanfaatkan data HDSS Sleman untuk menginformasikan intervensi dan kebijakan perawatan kesehatan berbasis bukti, para pemangku kepentingan bertujuan untuk berkontribusi pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan yang baik di dalam masyarakat.

SDG 4: Pendidikan Berkualitas – Melalui melibatkan mahasiswa dan peneliti dalam proyek penelitian yang menggunakan data HDSS Sleman, inisiatif ini berupaya meningkatkan pengembangan kapasitas dan mempromosikan pendidikan berkualitas di bidang penelitian kesehatan masyarakat.

SDG 17: Kemitraaan Untuk Mencapai Tujuan – Dengan mendorong kolaborasi, berbagi keahlian, dan memobilisasi sumber daya, para pemangku kepentingan memiliki posisi yang lebih baik untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat yang kompleks yang dihadapi masyarakat Kabupaten Sleman dan berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dalam skala global.

Harapannya prospek pencapaian SDGs dapat dicapai melalui pemanfaatan data sekunder HDSS Sleman yang dapat mencerminkan masalah kesehatan di masyarakat dan menelaah potensi solusi terbaik yang dapat diterapkan. Dengan mendorong budaya kolaborasi dan inovasi, inisiatif ini berpotensi menghasilkan wawasan yang dapat ditindaklanjuti yang dapat mendorong perubahan positif di tingkat lokal, nasional, dan global. Seiring dengan momentum yang terus meningkat, para pemangku kepentingan tetap berkomitmen untuk mewujudkan potensi penuh pemanfaatan data sekunder HDSS Sleman dalam memajukan penelitian kesehatan masyarakat dan meningkatkan hasil kesehatan populasi.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Foto: Rahmi Kusumawati

Jumlah lansia di Indonesia terus meningkat, dan ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan. Salah satu isu utama yang dihadapi lansia adalah penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Untuk membantu mengatasi masalah ini, peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII)  dan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengembangkan aplikasi berbasis Shiny App yang dapat membantu tenaga kesehatan dan kader lansia dalam memantau tingkat kemandirian lansia. Pengembangan aplikasi ini dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan menggunakan data penelitian tersarang dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Kolaborasi yang dilakukan dalam penelitian mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 17. 

Aplikasi ini tidak hanya memberikan hasil berupa tingkat kemandirian lansia dari berbagai faktor, seperti kognitif, psikologis, ekonomi, gizi, dan kesehatan, tetapi juga menampilkan plot hubungan kausal secara keseluruhan.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Lansia

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat kemandirian lansia, diantaranya:

  • Faktor kognitif: Kemampuan berpikir dan mengingat yang menurun dapat memengaruhi kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor psikologis: Depresi, kecemasan, dan kesepian dapat membuat lansia kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor ekonomi: Keterbatasan finansial dapat membuat lansia kesulitan untuk mendapatkan akses ke layanan kesehatan dan makanan yang bergizi.
  • Faktor gizi: Kekurangan gizi dapat membuat lansia lemah dan tidak berenergi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor kesehatan: Penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan stroke, dapat membuat lansia kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

 

Manfaat Aplikasi Tingkat Kemandirian Lansia

Aplikasi ini memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

  • Membantu tenaga kesehatan dan kader lansia dalam memantau tingkat kemandirian lansia secara lebih efektif dan efisien.
  • Membantu lansia untuk tetap mandiri dan aktif dalam kehidupan sehari-hari.
  • Membantu keluarga lansia dalam memberikan perawatan yang lebih baik.
  • Membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.

 

Selain itu aplikasi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Goal 3, yaitu memastikan hidup sehat dan sejahtera bagi semua orang pada semua usia. Dengan meningkatkan kemandirian lansia, aplikasi ini dapat membantu mereka untuk hidup lebih sehat dan bahagia.

Pengembangan aplikasi ini masih terus dilakukan, dan diharapkan dapat segera diimplementasikan di berbagai wilayah di Indonesia.

 

Penulis : Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 24 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:

Kusumaningrum, S. D., & Prihantoro, H. P. (2020). Implementasi aplikasi tingkat kemandirian lansia berbasis shiny app. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi, 18(2), 173-182.

 

Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi momok kesehatan masyarakat Indonesia, bahkan menempati posisi teratas sebagai penyebab kematian. Untungnya, risiko PJK ini bisa dikurangi dengan perubahan gaya hidup. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Cardiovascular Prevention and Pharmacotherapy menguak faktor-faktor gaya hidup yang berperan besar dalam meningkatkan risiko PJK pada masyarakat Indonesia.

Penelitian yang dipimpin oleh para peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membandingkan kebiasaan hidup para pasien PJK dengan orang sehat dari populasi yang sama. Ditemukan beberapa faktor gaya hidup ternyata memiliki keterkaitan kuat dengan peningkatan risiko PJK.

Merokok, Duduk Terlalu Lama, dan Kurang Sayur:

Merokok: Penelitian menemukan bahwa mereka yang pernah merokok memiliki risiko PJK 4 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah merokok. Ini menunjukkan bahwa berhenti merokok adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan jantung.

Kurang Aktif: Duduk terlalu lama dan kurang berolahraga ternyata sangat berbahaya. Penelitian ini menemukan bahwa orang yang kurang aktif memiliki risiko PJK 15 kali lebih besar! Aktif bergerak, seperti rutin berolahraga, sangat penting untuk menjaga kesehatan jantung.

Kurang Konsumsi Buah dan Sayur: Pola makan yang rendah buah dan sayur juga berisiko. Penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang kurang makan buah dan sayur memiliki risiko PJK 5 kali lebih besar. Pastikan untuk mengonsumsi buah dan sayur dalam jumlah yang cukup setiap hari.

Selain ketiga faktor di atas, penelitian ini juga menemukan keterkaitan antara PJK dengan diabetes, hipertensi, dan obesitas sentral (lemak perut berlebih). Jika Anda memiliki kondisi-kondisi tersebut, berkonsultasi dengan dokter dan menerapkan pola hidup sehat menjadi langkah penting untuk mencegah PJK.

Gaya Hidup Sehat = Jantung Sehat

Temuan penelitian ini menjadi pengingat penting bahwa gaya hidup sehat memegang peranan krusial dalam menjaga kesehatan jantung. Dengan mengurangi kebiasaan merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengonsumsi makanan bergizi, kita dapat menurunkan risiko PJK secara signifikan.

Upaya menurunkan angka PJK di Indonesia sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-3, yaitu “Kesehatan dan Kesejahteraan”. Dengan mempromosikan gaya hidup sehat dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang faktor-faktor risiko PJK, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

Jadi, mari mulai terapkan gaya hidup sehat sejak dini! Dengan perubahan sederhana, kita dapat menjaga kesehatan jantung dan hidup lebih berkualitas.

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:

Hartopo, A. B., Inggriani, M. P., Jhundy, B. W., Fachiroh, J., Rosha, P. T., Wardani, R. K., Dewi, F. S. T. (2023). Modifiable risk factors for coronary artery disease in the Indonesian population: a nested case-control study. Cardiovascular Prevention and Pharmacotherapy, 5(1), 24–34.

 

Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, mengandung segudang nutrisi penting. Namun, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif, terutama bagi ibu bekerja. Pemberian ASI eksklusif merupakan bagian dari SDG Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, yang bertujuan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Studi ini meneliti hubungan antara status pekerjaan ibu dan status pemberian ASI Eksklusif menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman.

Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan 297 ibu atau pengasuh bayi/balita. Analisis chi-square digunakan untuk melihat hubungan antara status pekerjaan dan pemberian ASI. Hasilnya menarik, tidak ada hubungan yang ditemukan antara status pekerjaan ibu dan status pemberian ASI.

Temuan ini berbeda dengan penelitian nasional sebelumnya yang menunjukkan ibu bekerja lebih jarang memberikan ASI eksklusif dibanding ibu tidak bekerja. Apa yang bisa kita pelajari?

Pertama, waktu bukanlah faktor tunggal. Keberhasilan ASI eksklusif bukan hanya soal ibu memiliki banyak waktu bersama bayi. Peran pemerintah penting untuk menyediakan fasilitas khusus menyusui atau memompa ASI, seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2012.

Kedua, ibu bekerja bisa sukses dengan ASI perah. Kemampuan ibu memberikan ASI perah di botol menjadi penentu penting. Fasilitas penitipan anak yang ramah ASI, baik di tempat kerja pemerintah maupun swasta, juga berperan penting. Studi lain menunjukkan dukungan berupa kebijakan dan program khusus di tempat kerja, seperti menyediakan tempat penitipan anak, waktu menyusui fleksibel, dan jeda istirahat khusus, dapat meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif bagi ibu bekerja.

Kesimpulannya, studi ini menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara status kerja ibu dan pemberian ASI eksklusif. Dengan mendukung ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif, kita berkontribusi pada pencapaian SDG3. Namun, beberapa faktor lain seperti dukungan pemerintah, fasilitas tempat kerja, dan asuransi kesehatan dapat berperan penting.

Pemerintah perlu menambah durasi cuti melahirkan dan memperkuat regulasi yang mendukung pemberian ASI eksklusif di berbagai instansi. Tempat kerja juga perlu menyediakan fasilitas khusus menyusui atau memompa ASI, serta mendukung ibu bekerja dengan kebijakan dan program ramah ASI.

Mari kita dukung para ibu bekerja agar tetap bisa memberikan ASI eksklusif kepada buah hati mereka, demi mewujudkan generasi yang sehat dan sejahtera!

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:
Nugroho, A. (2022). Working status is not related to exclusive breastfeeding. International Journal of Health Science and Technology, 3(3). https://doi.org/10.31101/ijhst.v3i3.2392 

 

Pernah kepalang tanggung buru-buru di jalanan yang padat, menghindari motor dan menerobos keramaian? Tak sengaja salah langkah, dan bam! Anda sudah terkapar di trotoar. Beda cerita dengan adegan Anda sedang bertani di sawah yang damai, tiba-tiba heningnya pecah oleh suara Anda terjatuh dari tangga. Kedua situasi ini sama-sama apes, tapi sebuah penelitian menarik mengungkapkan perbedaan mengejutkan dalam risiko cedera antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Sleman.

 

Sama-sama Cedera, tapi Beda Cerita

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Gadjah Mada dengan memanfaatkan data sekunder HDSS Sleman ini menganalisis data dari hampir 20.000 orang di Sleman. Menariknya, meski 5% penduduk melaporkan pernah mengalami cedera, distribusinya tidak merata. Penduduk desa memiliki kemungkinan cedera sedikit lebih tinggi (6,5%) dibandingkan dengan penduduk kota (4,9%). Namun, tingkat keparahannya berbeda. Cedera perkotaan cenderung lebih parah, dengan 15,8% diklasifikasikan sebagai cedera berat dibandingkan dengan 9,5% di daerah pedesaan.

 

Siapa Pelakunya?

Biang keroknya ternyata berbeda. Kehidupan kota menghadirkan bahaya unik. Kecelakaan lalu lintas muncul sebagai penyebab utama cedera perkotaan (35,1%), kemungkinan besar karena volume dan kecepatan kendaraan yang lebih tinggi. Sementara itu, penduduk desa lebih mungkin terjatuh (35,0%), mungkin mencerminkan bahaya pekerjaan seperti bekerja di medan yang tidak rata atau di ketinggian.

 

Siapa yang Rentan?

Studi ini juga mengidentifikasi kelompok tertentu di setiap wilayah yang lebih rentan terhadap cedera. Di daerah perkotaan, pria, duda/janda, pelajar, dan mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah berisiko lebih tinggi. Di lingkungan pedesaan, lansia dan pengusaha menghadapi kerentanan yang meningkat.

Risiko cedera yang berbeda di wilayah perkotaan dan pedesaan Sleman dapat mempengaruhi pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera. Upaya untuk mengurangi risiko cedera dan meningkatkan akses ke layanan kesehatan yang berkualitas perlu dilakukan di kedua wilayah.

 

Menyesuaikan Solusi dengan Kondisi

Temuan ini menyoroti pentingnya memahami lanskap cedera yang unik di berbagai wilayah. Pendekatan seragam tidak akan berhasil. Para peneliti menekankan perlunya intervensi yang ditargetkan: langkah-langkah peningkatan keselamatan jalan raya dan kampanye kesadaran di daerah perkotaan, serta inisiatif pencegahan jatuh dan pelatihan keselamatan untuk pekerjaan tertentu di masyarakat pedesaan.

Ingat, menjaga keselamatan bukan hanya tentang menghindari lalu lintas atau memperhatikan langkah Anda. Dengan memahami faktor risiko khusus untuk lingkungan Anda dan mengambil tindakan pencegahan, Anda dapat secara signifikan mengurangi kemungkinan Anda mengalami cedera.

Mari bersama-sama membangun komunitas yang aman dan sehat di Sleman dan berkontribusi pada pencapaian SDG Goal 3!

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:
Dewi, F. S. T., Lestari, S. K., Wardani, R. K., & Nugroho, A. (2018, August). Risk Factors of Injury in Urban and Rural Areas in Sleman, Yogyakarta. In The International Conference on Public Health Proceeding (Vol. 3, No. 02, pp. 190-190). 

 

Kabupaten Sleman yang merupakan jantung Provinsi Yogyakarta identik dengan penduduknya yang berumur panjang namun bergulat dengan bayang-bayang penyakit tidak menular (PTM). Diantara berbagai faktor yang berkontribusi pada paradoks ini, sorotan tajam mengarah pada pada peranan diet atau konsumsi makanan. 

Menelusuri jalinan rumit pengaruh sosial, sebuah studi memulai pencarian untuk mengurai determinan sosiodemografi yang membentuk kebiasaan makan dalam masyarakat, selaras dengan misi utama Sustainable Development Goals (SDGs) SDG Tujuan 3: Memastikan kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua di segala usia.

Menelusuri pengaruh sosiodemografi, penelitian ini menemukan determinan penting yang membentuk kebiasaan makan. Data sekunder yang dieksplorasi merupakan preferensi diet 4.963 orang dewasa yang terdaftar sebagai responden HDSS Sleman. Penelitian ini menemukan sebuah potret kebiasaan makan penduduk Sleman yang cukup mengejutkan. Sebanyak 82,4% responden mengaku sering mengonsumsi makanan manis dan 62% responden mengonsumsi makanan berlemak tinggi. Monosodium glutamate (MSG), si penambah rasa, yang lebih dikenal dengan sebutan micin dengan kadar tinggi dikonsumsi 75,5% responden. Kenikmatan makanan dengan cita rasa asin juga menguasai selera 46% responden.

Perempuan dan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pola makan yang lebih sehat. Perempuan cenderung jarang mengonsumsi makanan manis dan minuman manis dibandingkan dengan pria. Demikian pula, mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan lebih rendah untuk memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat. 

Selain jenis kelamin dan pendidikan, ditemukan pula hubungan potensial antara status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal terhadap praktik makanan yang lebih sehat. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangganya semakin sering seseorang mengonsumsi makanan dan minuman manis. Sebaliknya, individu yang lebih tua dan mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih jarang mengonsumsi makanan dengan MSG.  Individu yang lebih tua, terutama mereka yang berusia 50 tahun ke atas, juga lebih jarang mengonsumsi makanan dengan kandungan garam dan lemak tinggi. Temuan ini mengindikasikan perubahan preferensi makanan di berbagai tahap kehidupan, dengan individu yang lebih tua menunjukkan kecenderungan menuju pilihan yang lebih sadar akan kesehatan.

Memahami hubungan yang kompleks antara faktor sosiodemografi dan kebiasaan makan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan di Sleman. Dengan memanfaatkan wawasan ini, pembuat kebijakan dan ahli kesehatan masyarakat dapat memetakan jalan menuju promosi pola makan yang lebih sehat, misalnya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan makanan yang lebih sehat. Sehingga pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian SDG Tujuan 3 dan membina komunitas di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalani hidup sehat.

 

Penulis: Septi Kurnia Lestari
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:05 pm

 

Referensi:

Lestari, S. K., Hartriyanti, Y., & Wardani, R. K. (2022). Unhealthy Diets among Adult Populations in Sleman Districts, Yogyakarta: Pattern and Related Sociodemographic Determinants, Findings from Sleman HDSS. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 10(2), 103-113. https://doi.org/10.14710/jgi.10.2.103-113