Tag Archive for: SDG2

Studi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menguak fakta mengkhawatirkan: tingginya angka kekurangan gizi pada anak usia di bawah lima tahun. Temuan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang bagi kesehatan dan tumbuh kembang. Studi ini juga membahas pentingnya pemberian makanan bergizi seimbang untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. 

Para peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa praktik pemberian makan merupakan faktor utama yang memengaruhi status gizi anak usia 0-59 bulan. Pemberian makanan yang baik berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak secara keseluruhan. Studi terbaru yang dilakukan di Sleman, Yogyakarta, menyelidiki hubungan antara praktik pemberian makan dan status gizi pada anak usia di bawah lima tahun. 

Penelitian ini melibatkan 185 anak berusia 7-59 bulan responden Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Status gizi anak dinilai berdasarkan pengukuran antropometri (berat dan tinggi badan), sementara praktik pemberian makan diperoleh melalui kuesioner terstandar. 

Hasil penelitian menunjukkan angka yang memprihatinkan terkait kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan berat badan menurut umur (BAZ/WAZ), prevalensi anak yang kekurangan gizi (underweight) mencapai 12.5%. Selain itu, prevalensi stunting (tubuh pendek) berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/HAZ) mencapai 39.5% dan prevalensi kurus berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB/WHZ) sebesar 5.4%. 

Meskipun demikian, studi ini menemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki praktik pemberian makan yang tergolong baik. Hal ini terlihat dari praktik pemberian ASI (95.7%), pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) (70.8%), perilaku pemberian makan (64.3%), dan frekuensi pemberian makan minimal 3 kali sehari (78.9%). Namun, sebanyak 54.1% anak mulai menerima MPASI sebelum usia 6 bulan, yang menandakan terganggunya pemberian ASI eksklusif. 

Secara mengejutkan, penelitian ini tidak menemukan hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak berdasarkan BAZ, TB, dan BB/TB. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa praktik pemberian makan yang baik berperan penting dalam memastikan kecukupan asupan gizi dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. 

Hasil studi ini dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs) dengan memberikan gambaran praktik pemberian makan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dalam peningkatan mutu kualitas individu. Beberapa Goal yang dapat didukung yaitu:

  1. SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Memberikan gambaran untuk perbaikan situasi kekurangan gizi anak
  2. SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera): Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan peningkatan status gizi anak
  3. SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendorong masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan edukasi masyarakat terkait praktik pemberin makan pada anak
  4. SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan): Mendorong kemitraan masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pemerintah untuk meningkatkan status gizi anak. 

Studi ini memberikan gambaran tentang pentingnya pemenuhan gizi pada anak usia dini, terlepas dari temuan tidak adanya hubungan langsung dengan praktik pemberian makan. Orang tua dan pengasuh anak perlu terus berupaya memberikan makanan bergizi seimbang sesuai usia anak, serta berkonsultasi dengan tenaga kesehatan untuk memantau tumbuh kembang anak secara berkala.

Referensi:
Palupi, I. R., Meltica, R., & Faza, F. (2019). Research Article Feeding Practices and Nutritional Status among Children Under Five Years of Age in Sleman District, Yogyakarta, Indonesia.

Penulis: Rahayu Kia Sandi Cahaya Putri
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.

 

Source: image by Freepik

Interning abroad involves various new and exciting challenges. For Anna, a young intern from Sweden, her time in Indonesia, specifically in Yogyakarta, or better known as Jogja, offered more than just professional growth; it presented an interesting challenge – the struggle to find, order and buy healthy food, especially from restaurants.  Anna’s story highlights the importance of a balanced diet and how it impacts overall well-being, regardless of one’s geographical location.

Indonesia, with its rich culinary diversity, presents a paradoxical food landscape where abundance coexists with nutritional challenges that resonates with Sustainable Development Goals 2 and 3. Anna’s struggle highlights the critical need for access to nutritious food, a core aspect of SDG 2, which aims to end hunger and promote sustainable agriculture. Simultaneously, it reflects SDG 3’s emphasis on ensuring healthy lives and promoting well-being, as proper nourishment is integral to maintaining good health and vitality. This situation in Indonesia mirrors a global concern where dietary habits are influenced by the availability and affordability of food, impacting both physical and mental health outcomes. Anna’s experience serves as a microcosm of the ongoing efforts to achieve food security and improved nutrition, advocating for a systemic approach to address these intertwined goals.

 

The Struggle for Healthy Food

Source: image by Freepik

As Anna started her internship adventure in Indonesia, she quickly realised that her dietary needs would not be easily met. Coming from a country where fresh, organic produce and balanced meals are the norm, she was taken aback by the prevalence of fried and oily foods in Indonesia. Anna usually ate granola, sandwich, and porridge for breakfast, but when she moved to Indonesia, it was not the same. After talking to a friend who told her about black rice porridge, she adapted and fell in love with ‘bubur ketan hitam’, which is healthy but sweet. Anna started to feel like all she ate was rice, but she understood it as she saw lots of rice fields in the country due to its tropical climate; which was conducive to rice cultivation making rice an affordable option. Despite the struggle, she loved nasi goreng and some spicy food!

Street food offered delicious, yet less nutritious options and seemed to dominate the culinary landscape, leaving Anna longing for healthier alternatives. Anna browsed on the food delivery app, but she ended up ordering a fruit salad that came with plenty of mayo in it. Anna started to question whether she should adapt to eating fritters, fried food, and rice, or not give up yet.

 

Navigating the Culture of Fried Food

Source: image by Freepik

Amidst the abundance of fried food options, Anna felt a pang of nostalgia for the wholesome, nutrient-rich meals she was accustomed to in Sweden. After a conversation with a colleague who expressed Yogyakarta people’s love for fritters and how fried food may be the reason for high cardiovascular disease in the city. A research study focused on adolescents in Yogyakarta suggests that inadequate dietary choices and high sugar are a risk for cardiovascular diseases in the region1. Although Anna faced the challenge of finding suitable alternatives, she began to explore local markets, seeking out fruits, vegetables, and ingredients that aligned with her dietary preferences. Although initially disheartened by the lack of readily available healthy options, her determination led her to discover a select few vendors that offered healthier alternatives.

 

The Health Impact

As Anna persisted in her quest for nutritious meals, she soon noticed the positive effects on her well-being. By incorporating more fruits, vegetables, and balanced dishes into her diet, she experienced increased energy levels, a clearer mind, and overall improved physical health. The shift towards healthier choices not only nourished her body, but also enhanced her productivity and ability to cope with the challenges of her daily living.

 

Emphasising the Importance of Healthy Food

Source: image by Freepik

Anna’s struggle highlights the universal importance of healthy food choices, regardless of one’s location. Irrespective of cultural differences, nourishing our bodies with essential nutrients is crucial for optimal physical and mental well-being. Adequate nutrition plays a vital role in supporting bodily functions, boosting the immune system’s  strength, and reducing the risk of chronic diseases. Furthermore, incorporating a wholesome diet positively impacts energy levels, cognitive abilities, and emotional stability2.

 

An Opportunity for Cultural Exchange

Anna’s search for healthier options became a gateway to cultural understanding. Through her interactions with local food vendors and expressing her desire for nutritious meals, she engaged in conversations about traditional Indonesian ingredients, cooking techniques, and indigenous recipes. This exchange allowed for a deeper appreciation of the culinary heritage of Indonesia and fostered a greater connection between Anna and the local community. Anna was in love with gado-gado, an Indonesian dish of cooked vegetables and hard-boiled eggs served with the yummiest peanut sauce that contains lemongrass too. Anna loved the sauce and everything about gado-gado.

Source: image by Freepik

Anna’s experience as an intern from Sweden in Indonesia serves as a powerful reminder of the significance of healthy food choices, even when faced with challenges in an unfamiliar environment. As she navigated the prevalence of fried and oily foods, Anna’s commitment to finding nutritious alternatives not only benefited her personal health but also fostered cultural understanding. This tale reinforces the crucial role that healthy food plays in our overall well-being, regardless of the challenges faced. It serves as a reminder that, no matter where we are in the world, the importance of nourishing our bodies through balanced and nutritious meals remains paramount. Currently, Anna has returned to Sweden and cherishes the moments when she was in her batik drinking coconut water and trying some tropical fruits for the first time. Anna is thankful for her experience in Yogyakarta.

 

 

By: Sarah Gumush & Dewi Caesaria Fitriani
Editor: Septi Kurnia Lestari

Reference

1Murni IK, Sulistyoningrum DC, Susilowati R, Julia M, Dickinson KM. The association between dietary intake and cardiometabolic risk factors among obese adolescents in Indonesia. BMC pediatrics. 2022 Dec;22(1):1-9.

2Shlisky J, Bloom DE, Beaudreault AR, Tucker KL, Keller HH, Freund-Levi Y, Fielding RA, Cheng FW, Jensen GL, Wu D, Meydani SN. Nutritional considerations for healthy aging and reduction in age-related chronic disease. Advances in nutrition. 2017 Jan 1;8(1):17-26.