Tag Archive for: Quality of life

Batik telah lama menjadi lebih dari sekadar kain tetapi juga merupakan medium untuk pemberdayaan ekonomi dan pelestarian budaya. Kelompok Wanita Batik (KWB) Sekar Melati Pundong II menjadi contoh nyata bagaimana sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dapat berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Dengan mengadopsi motif khas burung blekok, KWB Sekar Melati tidak hanya menghasilkan produk berkualitas tinggi, tetapi juga turut melestarikan kekayaan budaya lokal dan memperkuat identitas komunitas.

Inisiasi KWB Sekar Melati Pundong II yang dibuat Tim Pengabdian Masyarakat Waras Guyub Rukun ini merupakan salah satu kegiatan pengabdian masyarakat berkelanjutan yang telah dikelola Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman sejak tahun 2019. Pengabdian masyarakat ini dirancang untuk dapat mendukung pemberdayaan masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan dengan program terencana setiap tahunnya. Kemandirian dan perluasan pemasaran menjadi target program pengabdian masyarakat ini pada tahun kelima pelaksanaannya. KWB Sekar Melati Pundong II merupakan UMKM yang berdiri pada tahun 2019 dan menghadapi beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk dapat menjadi UMKM yang mandiri dan berkembang secara berkelanjutan.

Salah satu tantangan yang dihadapi yaitu adanya kompetitor-kompetitor dalam produksi batik di wilayah Mlati. Sebagai upaya untuk dapat mempertahankan kemandirian KWB Sekar Melati Pundong II tersebut, pada tanggal 28 September 2024 Tim Pengabdian Masyarakat Waras Guyub Rukun memberikan workshop dengan topik “Business Plan” yang dihadiri pengelola KWB Sekar Melati Pundong II. Workshop ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam meningkatkan nilai jual batik sekar melati melalui pengemasan dan pemasaran batik secara digital.

Acara dimulai dengan sambutan oleh sambutan Kepala Kelurahan Tirtoadi (Bapak Mardiharto), sambutan oleh perwakilan Ketua Padukuhan Pundong II, dan sambutan perwakilan Tim Pengabdian Masyarakat Waras Guyub Rukun. Setelah sambutan, acara inti dimulai dengan penyampaian materi oleh Bapak Wahyu Tri Atmojo yang merupakan konsultan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah bidang teknologi informasi dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi DIY. Materi yang disampaikan dalam workshop berupa cara merumuskan visi jangka panjang, termasuk memberikan panduan dalam menghadapi tantangan bisnis.

KWB Sekar Melati Pundong II merupakan contoh inspiratif bagaimana UMKM dapat berperan dalam mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan terus meningkatkan sinergi multiheliks dan memanfaatkan teknologi dan inovasi, UMKM dapat menjadi pendorong penting dalam mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua.

Workshop business plan bagi KWB Sekar Melati Pundong II merupakan langkah konkret dalam mendukung pencapaian beberapa Goal SDGs berikut:

  1. SDG 8 – Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi

KWB Sekar Melati Pundong II berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan melalui UMKM. Dengan mengembangkan produk batik yang khas dan berkualitas tinggi, mereka mampu meningkatkan pendapatan lokal dan pemberdayaan ekonomi komunitas. Kegiatan pelatihan seperti workshop “Business Plan” juga membantu memperkuat kemampuan KWB Sekar Melati Pundong II dalam bersaing, meningkatkan nilai jual, dan memperluas pemasaran produk melalui digitalisasi. Upaya ini sejalan dengan SDG 8 yang mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, serta membuka peluang kerja layak bagi masyarakat.

  • SDG9 – Industri, Inovasi, dan Infrastruktur

Workshop ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas industri mikro seperti KWB Sekar Melati Pundong II dengan memperkenalkan metode perencanaan bisnis yang berkelanjutan dan efektif. Dalam hal ini UGM berperan dalam memperkuat KWB Sekar Melati Pundong II agar mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian usaha, yang pada gilirannya memperkuat fondasi ekonomi di tingkat komunitas.

  • SDG 11 – Kota dan Komunitas Berkelanjutan
    Melalui pelestarian motif batik lokal seperti burung blekok, KWB Sekar Melati Pundong II berperan dalam melestarikan budaya lokal, memperkuat identitas komunitas, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya daerah. Pemberdayaan ini juga membuat komunitas lebih tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
  • SDG 17 – Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
    Program pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh Tim Pengabdian Masyarakat Waras Guyub Rukun dan dukungan dari HDSS Sleman menunjukkan pentingnya kemitraan dalam mengembangkan UMKM. Keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, konsultan, dan komunitas lokal, mencerminkan kolaborasi lintas sektor yang efektif. Kolaborasi ini membantu KWB Sekar Melati Pundong II menjadi UMKM yang mandiri dan berkembang secara berkelanjutan, sesuai dengan SDG17 yang menekankan pentingnya kerja sama dan kemitraan untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih luas.

Dengan target program pengabdian masyarakat Tim Pengabdian Masyarakat Waras Guyub Rukun tahun 2024 di KWB Sekar Melati Pundong II diharapkan peserta tidak hanya menghasilkan produk unggulan daerah, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor kreatif.

Penulis : Bilqis Saptira Maulia, Salma Maharani Cahyadi, Aphrodita Sona Rachmadani
Editor: Naufal Farah Azizah
Dokumentasi: Aphrodita Sona Rachmadani

Peringatan Hari Jantung Sedunia (World Heart Day) yang diperingati setiap tanggal 29 September menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap pencegahan penyakit kardiovaskular. Bersamaan dengan perayaan World Heart Day, dr. Anggoro Budi Hartopo, MSc, Ph.D, SpPD-KKV, SpJP(K) yang merupakan salah satu peneliti di HDSS Sleman mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat “Aksi Sehat Jantung: Pemeriksaan Kesehatan dan Penerapan Kuesioner Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) Berbasis Web pada Masyarakat di Aula Kalurahan Sidomoyo”.

Tujuan utama kegiatan ini adalah agar partisipan kegiatan bisa dengan mudah menggunakan kuesioner elektronik untuk menilai risiko penyakit jantung. Setelah mengetahui risikonya, diharapkan partisipan akan lebih termotivasi untuk menerapkan gaya hidup sehat. Selain itu, dengan memberikan informasi dan edukasi tentang cara mencegah penyakit jantung dapat menurunkan jumlah penderita PJK.

Acara dimulai dengan sambutan dari Bapak Beben Sumarjiyanto yang mewakili Kalurahan Sidomoyo, lalu dilanjutkan dengan sambutan dan pembukaan acara oleh dr. Anggoro. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan kesehatan seperti tekanan darah, tinggi badan, berat badan, dan kadar kolesterol. Setelah pemeriksaan, peserta diberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang bisa meningkatkan risiko penyakit jantung.

Selain itu, dilakukan juga uji coba kuesioner elektronik berbasis Borangku untuk mengukur risiko PJK partisipan. Beberapa partisipan dipilih untuk memberikan pendapat mereka tentang aplikasi ini. Dalam kegiatan tersebut partisipan juga mendapat pelatihan dasar pertolongan pertama untuk penyakit jantung, agar peserta bisa memberikan bantuan jika ada orang yang mengalami serangan jantung.

Dengan kegiatan pemeriksaan kesehatan dan edukasi ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan jantung dan mau melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat. Selain itu, diharapkan masyarakat juga bisa dengan mudah memeriksa risiko PJK sendiri secara berkala menggunakan kuesioner elektronik berbasis BorangKu. Upaya ini diharapkan mampu mendorong perubahan perilaku yang lebih sehat secara berkelanjutan, sehingga dapat menekan risiko penyakit kardiovaskular di kalangan masyarakat.

Pelaksanaan kegiatan ini tidak lepas dari semangat UGM untuk selalu berkontribusi dalam mendukung ketercapaian Suitable Development Goals (SDGs) sebagai berikut:

  1. SDG3: Menjamin hidup sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua di segala usia. Kegiatan ini secara langsung berkontribusi pada target SDGs 3, terutama dalam hal pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular seperti penyakit jantung. Melalui skrining, edukasi, dan pemanfaatan teknologi, kegiatan ini membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung.
  2. SDG3.4: Menurunkan secara signifikan kematian prematur akibat penyakit tidak menular (PTN) seperti penyakit jantung, kanker, penyakit pernapasan obstruktif kronis dan diabetes mellitus pada tahun 2030. Kegiatan ini sejalan dengan target SDGs 3.4, dengan fokus pada pencegahan penyakit jantung.
  3. SDG9: Membangun infrastruktur yang tangguh, mendorong industrialisasi inklusif dan berkelanjutan, dan memfasilitasi inovasi. Penggunaan teknologi seperti kuesioner elektronik berbasis web menunjukkan upaya untuk memanfaatkan inovasi dalam bidang kesehatan. Hal ini sejalan dengan target SDGs 9.
  4. SDG10: Mengurangi ketimpangan dalam dan antar negara. Dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat terhadap informasi kesehatan dan layanan skrining, kegiatan ini berkontribusi pada pengurangan ketimpangan kesehatan.

Kegiatan ini menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi beban penyakit tidak menular, dan memanfaatkan teknologi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Penulis: Bilqis Saptira Maulia, Salma Maharani Cahyadi, Aphrodita Sona Rachmadani
Editor: Naufal Farah Azizah, Dewi Caesaria Fitriani
Dokumentasi: Wing Ma Intan, Dewi Caesaria Fitriani

Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sleman mengungkap berbagai faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan pemberian ASI eksklusif dan dilakukan melalui studi cross-sectional menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman Siklus 1 dan 2. Sampel penelitian terdiri dari 218 ibu dengan anak berusia 7 hingga kurang dari 24 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan serta penggunaan botol susu dan empeng memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki asuransi kesehatan cenderung 2,14 kali lebih mungkin untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, bayi yang tidak pernah menggunakan botol susu atau empeng sebelum usia 6 bulan, 5,14 kali lebih mungkin menerima ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang menggunakan botol atau empeng sebelum usia tersebut.

Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa usia ibu, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi ibu tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan faktor-faktor seperti kepemilikan asuransi kesehatan dan kebiasaan penggunaan botol dan empeng.

Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan botol susu dan empeng merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu, cakupan asuransi kesehatan, terutama untuk ibu hamil dan menyusui, perlu ditingkatkan. Selain itu, program promosi kesehatan yang efektif terkait dengan pemberian ASI eksklusif juga harus diperkuat.

Penelitian ini juga menyoroti perlunya analisis data yang lebih mendalam mengenai pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Sleman. Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi praktik ini dapat membantu dalam merancang intervensi yang lebih efektif untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah ini.

Penelitian ini sejalan dengan Sustainable Developments Goals (SDGs) yang terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan (SDG3) serta pengentasan kemiskinan (SDG1). Peningkatan cakupan asuransi kesehatan dan promosi pemberian ASI eksklusif tidak hanya meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat yang luas, termasuk peningkatan kekebalan tubuh bayi, pencegahan berbagai penyakit, dan penguatan ikatan emosional antara ibu dan anak. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong praktik ini harus terus ditingkatkan melalui kebijakan dan program yang tepat sasaran.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 18 Juli 2024 jam 14:20

Referensi: Dwicahyani, S., & Prabandari, Y. S. (2017). Determinan pemberian ASI eksklusif di Sleman. BKM Journal of Community Medicine and Public Health, 33(8).

Pola makan yang baik pada anak usia di bawah dua tahun memiliki dampak besar pada pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan mereka. Namun, praktik pemberian makan yang kurang optimal masih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagai upaya pencegahan kurang optimalnya pemberian makan di Kabupaten Sleman, penelitian yang dilakukan oleh Yayuk Hartriyanti, dkk dari Universitas Gadjah Mada meneliti bagaimana faktor ibu mempengaruhi pola makan anak usia di bawah dua tahun di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 388 ibu dengan anak berusia 0–24 bulan yang memanfaatkan data sekunder dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Analisis statistik yang dilakukan yaitu menelaah hubungan antara beberapa faktor ibu, seperti pendidikan, pekerjaan, dan usia, dengan praktik pemberian makan pada anak.

Hasil analisis data menyebutkan bahwa pemberian susu formula pada bayi di bawah 6 bulan masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 21.1%. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan untuk kesehatan bayi. Selain itu, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) seperti buah, bubur susu, dan makanan lunak pada umumnya baru dimulai pada usia 6-9 bulan. Sementara itu, idealnya MPASI bisa dikenalkan lebih awal.

Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pola makan anak. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering memberikan buah dan makanan lunak kepada anak mereka. Sebaliknya, ibu yang bekerja cenderung lebih awal dan lebih sering memberikan susu formula kepada bayinya.

Temuan ini menunjukkan pentingnya edukasi bagi para ibu tentang pentingnya pemberian ASI dan MPASI yang tepat. Dengan pengetahuan yang baik, ibu bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak. Program edukasi ini bisa diberikan saat Posyandu atau melalui puskesmas setempat.

Penelitian ini mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 2.2, yang bertujuan untuk mengakhiri malnutrisi pada anak di bawah 5 tahun. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Selain itu, hasil penelitian ini mendukung SDGs Goal 3 yaitu menyediakan nutrisi yang tepat untuk anak-anak merupakan bagian penting dari upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor ibu yang memengaruhi praktik pemberian makan, kita dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan ini dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dari penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dan pekerjaan ibu memainkan peran penting dalam membentuk praktik pemberian makan pada anak di bawah dua tahun. Edukasi tentang pemberian makan anak perlu ditingkatkan agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.

Penulis: Ahmad Anggit Hidayat
Editor: Naufal Farah Azizah & Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 15:05

Referensi:
Hartriyanti, Y., Susetyowati, S., & Rizqi, F. (2021). Maternal determinants of feeding practices among children under two years in Sleman district, Yogyakarta, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 17(1), 111–116.

 

Kualitas hidup terkait kesehatan atau health related quality of life (HRQOL) merupakan salah satu indikator penting untuk memahami kesehatan anak. Melihat pentingnya kualitas hidup terkait kesehatan sebagai bagian dari kesehatan anak, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pada anak Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional berbasis komunitas yang dilakukan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dari bulan Agustus hingga November 2019. Sampel penelitian melibatkan 633 orang tua/wali dan 531 anak berusia 2-18 tahun.  Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan anak dinilai menggunakan instrumen Pediatric Quality of Life Inventory™ (Peds QL™) 4.0 Generic core scale versi Bahasa Indonesia yang telah tervalidasi, melalui laporan orang tua/wali (proxyreport) dan laporan anak secara mandiri (selfreport). 

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata kualitas hidup terkait kesehatan anak berdasarkan laporan orang tua/wali adalah 93.3 dari total skor 100 (SD=6.4) dan laporan anak secara mandiri adalah 89.9 dari total skor 100 (SD=8.5). Ditemukan terdapat korelasi moderat antara laporan orang tua/wali dan laporan anak secara mandiri. Analisis regresi multivariat berdasarkan laporan orang tua/wali menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan anak yang lebih rendah dikaitkan dengan adanya masalah kesehatan akut, usia lebih muda, riwayat berat badan lahir rendah, persalinan abnormal, tingkat pendidikan ayah yang lebih rendah, dan penggunaan asuransi kesehatan pemerintah untuk keluarga prasejahtera. 

Penelitian ini menemukan bahwa determinan sosiodemografi anak, masalah kesehatan akut, dan berat badan lahir rendah berpengaruh terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada populasi anak secara umum. Negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, memiliki tingkat infeksi akut dan berat badan lahir rendah masih prevalen, upaya pencegahan dan intervensi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan anak secara menyeluruh. 

Temuan penelitian ini dapat mendukung beberapa pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya yaitu SDG 3 Kesehatan dan Kesejahteraan yaitu meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal, SDG 4 Pendidikan Berkualitas yaitu anak dengan kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih rendah mungkin mengalami kesulitan dalam belajar dan mencapai potensi penuh mereka di sekolah, dan SDG 10 Mengurangi Kesenjangan yaitu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak harus difokuskan pada kelompok yang paling rentan, seperti anak-anak dari keluarga prasejahtera. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat mendorong upaya kolektif dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan anak di Indonesia dan mencapai pembangunan kesehatan berkelanjutan.

Penulis: Alfianto Hanafiah
Editor: Naufal Farah Azizah dan Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 7 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Sitaresmi, M. N., Indraswari, B. W., Rozanti, N. M., Sabilatuttaqiyya, Z., & Wahab, A. (2022). Health-related quality of life profile of Indonesian children and its determinants: a community-based study. BMC pediatrics22(1), 103.

 

Gigi berlubang atau karies gigi adalah penyakit yang menyerang jaringan keras gigi. Gigi berlubang disebabkan oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Karies gigi bisa terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, tak terkecuali remaja. Penelitian tersarang di Health and Demographic Surveillance System (HDSS) yang diketuai oleh Bambang Priyono dkk menemukan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

Penelitian tersebut meneliti hubungan antara tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dan kondisi sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 275 remaja di Kabupaten Sleman dan menggunakan metode survei analitik dengan desain potong lintang yang dengan responden merupakan remaja berusia 13-15 tahun.  Para peneliti mengukur risiko gigi berlubang menggunakan suatu metode yang mempertimbangkan 10 variabel, termasuk faktor perilaku dan kebiasaan makan. 

Meskipun prevalensi gigi berlubang di kedua kelompok – perkotaan (70,7%) dan pedesaan (81,95%) – terbilang tinggi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara faktor tempat tinggal dan kondisi sosio ekonomi orang tua terhadap kejadian karies gigi pada remaja.  Artinya, remaja yang tinggal di perkotaan atau pedesaan, serta yang berasal dari keluarga dengan ekonomi beragam, memiliki risiko gigi berlubang yang serupa. 

Meskipun Kabupaten Sleman merupakan daerah berkembang dan memiliki wilayah perkotaan dan pedesaan, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan status sosial ekonomi orang tua dengan risiko gigi berlubang pada remaja. 

Temuan ini mematahkan anggapan umum bahwa remaja di perkotaan atau dari keluarga dengan ekonomi lebih baik memiliki risiko gigi berlubang yang lebih rendah.  Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain, di luar tempat tinggal dan ekonomi orang tua, berperan lebih besar dalam mempengaruhi risiko gigi berlubang pada remaja. 

Para peneliti menduga faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi mulut, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis, serta akses ke layanan kesehatan gigi yang tidak memadai, mungkin menjadi faktor yang lebih dominan. 

Temuan penelitian ini memberikan beberapa gambaran upaya untuk mendukung tercapainya beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya: 

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik): Mempromosikan kesehatan mulut yang baik dan mencegah gigi berlubang berkontribusi langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, sejalan dengan fokus SDG 3 untuk memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas): Mendidik masyarakat tentang pentingnya kebersihan mulut dan kebiasaan makan sehat sejalan dengan tujuan SDG 4 untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
  • SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan): Menyorot kebutuhan akan akses yang sama ke perawatan gigi untuk mengatasi tujuan pengurangan kesenjangan di dalam dan antar negara (SDG 10) dengan memastikan semua remaja memiliki kesempatan untuk kesehatan mulut yang baik.
  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mulut di daerah perkotaan dan pedesaan berkontribusi pada penciptaan kota dan komunitas yang berkelanjutan dan inklusif (SDG 11) dengan mengatasi disparitas kesehatan dan mendorong kesejahteraan bagi semua penduduk.

Dengan memahami faktor-faktor risiko yang sebenarnya, upaya pencegahan dan penanganan gigi berlubang pada remaja dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.  Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak dini, serta memilih pola makan yang sehat.  Selain itu, perlu dipastikan adanya akses yang setara terhadap layanan kesehatan gigi bagi semua remaja, terlepas dari latar belakang mereka.

 

Penulis: Wing Ma Intan
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: dibuat menggunakan AI ∙ 13 Maret 2024 jam 13:42

Referensi:
Priyono, B., Kusnanto, H., Supartinah, A., & Pramono, D. (2016). Correlation between predictions to get a new dental caries with residence area and parental socio-economic conditions in adolescents in Sleman DIY. Majalah Kedokteran Gigi49(3), 115-119.