Tag Archive for: HDSS

Jumlah lansia di Indonesia terus meningkat, dan ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan. Salah satu isu utama yang dihadapi lansia adalah penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Untuk membantu mengatasi masalah ini, peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII)  dan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengembangkan aplikasi berbasis Shiny App yang dapat membantu tenaga kesehatan dan kader lansia dalam memantau tingkat kemandirian lansia. Pengembangan aplikasi ini dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan menggunakan data penelitian tersarang dari Health and Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman. Kolaborasi yang dilakukan dalam penelitian mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Goal 17. 

Aplikasi ini tidak hanya memberikan hasil berupa tingkat kemandirian lansia dari berbagai faktor, seperti kognitif, psikologis, ekonomi, gizi, dan kesehatan, tetapi juga menampilkan plot hubungan kausal secara keseluruhan.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Lansia

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat kemandirian lansia, diantaranya:

  • Faktor kognitif: Kemampuan berpikir dan mengingat yang menurun dapat memengaruhi kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor psikologis: Depresi, kecemasan, dan kesepian dapat membuat lansia kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor ekonomi: Keterbatasan finansial dapat membuat lansia kesulitan untuk mendapatkan akses ke layanan kesehatan dan makanan yang bergizi.
  • Faktor gizi: Kekurangan gizi dapat membuat lansia lemah dan tidak berenergi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Faktor kesehatan: Penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan stroke, dapat membuat lansia kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

 

Manfaat Aplikasi Tingkat Kemandirian Lansia

Aplikasi ini memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

  • Membantu tenaga kesehatan dan kader lansia dalam memantau tingkat kemandirian lansia secara lebih efektif dan efisien.
  • Membantu lansia untuk tetap mandiri dan aktif dalam kehidupan sehari-hari.
  • Membantu keluarga lansia dalam memberikan perawatan yang lebih baik.
  • Membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.

 

Selain itu aplikasi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Goal 3, yaitu memastikan hidup sehat dan sejahtera bagi semua orang pada semua usia. Dengan meningkatkan kemandirian lansia, aplikasi ini dapat membantu mereka untuk hidup lebih sehat dan bahagia.

Pengembangan aplikasi ini masih terus dilakukan, dan diharapkan dapat segera diimplementasikan di berbagai wilayah di Indonesia.

 

Penulis : Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 24 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:

Kusumaningrum, S. D., & Prihantoro, H. P. (2020). Implementasi aplikasi tingkat kemandirian lansia berbasis shiny app. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi, 18(2), 173-182.

 

Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi momok kesehatan masyarakat Indonesia, bahkan menempati posisi teratas sebagai penyebab kematian. Untungnya, risiko PJK ini bisa dikurangi dengan perubahan gaya hidup. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Cardiovascular Prevention and Pharmacotherapy menguak faktor-faktor gaya hidup yang berperan besar dalam meningkatkan risiko PJK pada masyarakat Indonesia.

Penelitian yang dipimpin oleh para peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membandingkan kebiasaan hidup para pasien PJK dengan orang sehat dari populasi yang sama. Ditemukan beberapa faktor gaya hidup ternyata memiliki keterkaitan kuat dengan peningkatan risiko PJK.

Merokok, Duduk Terlalu Lama, dan Kurang Sayur:

Merokok: Penelitian menemukan bahwa mereka yang pernah merokok memiliki risiko PJK 4 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah merokok. Ini menunjukkan bahwa berhenti merokok adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan jantung.

Kurang Aktif: Duduk terlalu lama dan kurang berolahraga ternyata sangat berbahaya. Penelitian ini menemukan bahwa orang yang kurang aktif memiliki risiko PJK 15 kali lebih besar! Aktif bergerak, seperti rutin berolahraga, sangat penting untuk menjaga kesehatan jantung.

Kurang Konsumsi Buah dan Sayur: Pola makan yang rendah buah dan sayur juga berisiko. Penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang kurang makan buah dan sayur memiliki risiko PJK 5 kali lebih besar. Pastikan untuk mengonsumsi buah dan sayur dalam jumlah yang cukup setiap hari.

Selain ketiga faktor di atas, penelitian ini juga menemukan keterkaitan antara PJK dengan diabetes, hipertensi, dan obesitas sentral (lemak perut berlebih). Jika Anda memiliki kondisi-kondisi tersebut, berkonsultasi dengan dokter dan menerapkan pola hidup sehat menjadi langkah penting untuk mencegah PJK.

Gaya Hidup Sehat = Jantung Sehat

Temuan penelitian ini menjadi pengingat penting bahwa gaya hidup sehat memegang peranan krusial dalam menjaga kesehatan jantung. Dengan mengurangi kebiasaan merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengonsumsi makanan bergizi, kita dapat menurunkan risiko PJK secara signifikan.

Upaya menurunkan angka PJK di Indonesia sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-3, yaitu “Kesehatan dan Kesejahteraan”. Dengan mempromosikan gaya hidup sehat dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang faktor-faktor risiko PJK, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

Jadi, mari mulai terapkan gaya hidup sehat sejak dini! Dengan perubahan sederhana, kita dapat menjaga kesehatan jantung dan hidup lebih berkualitas.

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:

Hartopo, A. B., Inggriani, M. P., Jhundy, B. W., Fachiroh, J., Rosha, P. T., Wardani, R. K., Dewi, F. S. T. (2023). Modifiable risk factors for coronary artery disease in the Indonesian population: a nested case-control study. Cardiovascular Prevention and Pharmacotherapy, 5(1), 24–34.

 

Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, mengandung segudang nutrisi penting. Namun, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif, terutama bagi ibu bekerja. Pemberian ASI eksklusif merupakan bagian dari SDG Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, yang bertujuan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Studi ini meneliti hubungan antara status pekerjaan ibu dan status pemberian ASI Eksklusif menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman.

Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan 297 ibu atau pengasuh bayi/balita. Analisis chi-square digunakan untuk melihat hubungan antara status pekerjaan dan pemberian ASI. Hasilnya menarik, tidak ada hubungan yang ditemukan antara status pekerjaan ibu dan status pemberian ASI.

Temuan ini berbeda dengan penelitian nasional sebelumnya yang menunjukkan ibu bekerja lebih jarang memberikan ASI eksklusif dibanding ibu tidak bekerja. Apa yang bisa kita pelajari?

Pertama, waktu bukanlah faktor tunggal. Keberhasilan ASI eksklusif bukan hanya soal ibu memiliki banyak waktu bersama bayi. Peran pemerintah penting untuk menyediakan fasilitas khusus menyusui atau memompa ASI, seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2012.

Kedua, ibu bekerja bisa sukses dengan ASI perah. Kemampuan ibu memberikan ASI perah di botol menjadi penentu penting. Fasilitas penitipan anak yang ramah ASI, baik di tempat kerja pemerintah maupun swasta, juga berperan penting. Studi lain menunjukkan dukungan berupa kebijakan dan program khusus di tempat kerja, seperti menyediakan tempat penitipan anak, waktu menyusui fleksibel, dan jeda istirahat khusus, dapat meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif bagi ibu bekerja.

Kesimpulannya, studi ini menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara status kerja ibu dan pemberian ASI eksklusif. Dengan mendukung ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif, kita berkontribusi pada pencapaian SDG3. Namun, beberapa faktor lain seperti dukungan pemerintah, fasilitas tempat kerja, dan asuransi kesehatan dapat berperan penting.

Pemerintah perlu menambah durasi cuti melahirkan dan memperkuat regulasi yang mendukung pemberian ASI eksklusif di berbagai instansi. Tempat kerja juga perlu menyediakan fasilitas khusus menyusui atau memompa ASI, serta mendukung ibu bekerja dengan kebijakan dan program ramah ASI.

Mari kita dukung para ibu bekerja agar tetap bisa memberikan ASI eksklusif kepada buah hati mereka, demi mewujudkan generasi yang sehat dan sejahtera!

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:
Nugroho, A. (2022). Working status is not related to exclusive breastfeeding. International Journal of Health Science and Technology, 3(3). https://doi.org/10.31101/ijhst.v3i3.2392 

 

Pernah kepalang tanggung buru-buru di jalanan yang padat, menghindari motor dan menerobos keramaian? Tak sengaja salah langkah, dan bam! Anda sudah terkapar di trotoar. Beda cerita dengan adegan Anda sedang bertani di sawah yang damai, tiba-tiba heningnya pecah oleh suara Anda terjatuh dari tangga. Kedua situasi ini sama-sama apes, tapi sebuah penelitian menarik mengungkapkan perbedaan mengejutkan dalam risiko cedera antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Sleman.

 

Sama-sama Cedera, tapi Beda Cerita

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Gadjah Mada dengan memanfaatkan data sekunder HDSS Sleman ini menganalisis data dari hampir 20.000 orang di Sleman. Menariknya, meski 5% penduduk melaporkan pernah mengalami cedera, distribusinya tidak merata. Penduduk desa memiliki kemungkinan cedera sedikit lebih tinggi (6,5%) dibandingkan dengan penduduk kota (4,9%). Namun, tingkat keparahannya berbeda. Cedera perkotaan cenderung lebih parah, dengan 15,8% diklasifikasikan sebagai cedera berat dibandingkan dengan 9,5% di daerah pedesaan.

 

Siapa Pelakunya?

Biang keroknya ternyata berbeda. Kehidupan kota menghadirkan bahaya unik. Kecelakaan lalu lintas muncul sebagai penyebab utama cedera perkotaan (35,1%), kemungkinan besar karena volume dan kecepatan kendaraan yang lebih tinggi. Sementara itu, penduduk desa lebih mungkin terjatuh (35,0%), mungkin mencerminkan bahaya pekerjaan seperti bekerja di medan yang tidak rata atau di ketinggian.

 

Siapa yang Rentan?

Studi ini juga mengidentifikasi kelompok tertentu di setiap wilayah yang lebih rentan terhadap cedera. Di daerah perkotaan, pria, duda/janda, pelajar, dan mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah berisiko lebih tinggi. Di lingkungan pedesaan, lansia dan pengusaha menghadapi kerentanan yang meningkat.

Risiko cedera yang berbeda di wilayah perkotaan dan pedesaan Sleman dapat mempengaruhi pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera. Upaya untuk mengurangi risiko cedera dan meningkatkan akses ke layanan kesehatan yang berkualitas perlu dilakukan di kedua wilayah.

 

Menyesuaikan Solusi dengan Kondisi

Temuan ini menyoroti pentingnya memahami lanskap cedera yang unik di berbagai wilayah. Pendekatan seragam tidak akan berhasil. Para peneliti menekankan perlunya intervensi yang ditargetkan: langkah-langkah peningkatan keselamatan jalan raya dan kampanye kesadaran di daerah perkotaan, serta inisiatif pencegahan jatuh dan pelatihan keselamatan untuk pekerjaan tertentu di masyarakat pedesaan.

Ingat, menjaga keselamatan bukan hanya tentang menghindari lalu lintas atau memperhatikan langkah Anda. Dengan memahami faktor risiko khusus untuk lingkungan Anda dan mengambil tindakan pencegahan, Anda dapat secara signifikan mengurangi kemungkinan Anda mengalami cedera.

Mari bersama-sama membangun komunitas yang aman dan sehat di Sleman dan berkontribusi pada pencapaian SDG Goal 3!

 

Penulis: Redaksi HDSS Sleman
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:24 pm

 

Referensi:
Dewi, F. S. T., Lestari, S. K., Wardani, R. K., & Nugroho, A. (2018, August). Risk Factors of Injury in Urban and Rural Areas in Sleman, Yogyakarta. In The International Conference on Public Health Proceeding (Vol. 3, No. 02, pp. 190-190). 

 

Kabupaten Sleman yang merupakan jantung Provinsi Yogyakarta identik dengan penduduknya yang berumur panjang namun bergulat dengan bayang-bayang penyakit tidak menular (PTM). Diantara berbagai faktor yang berkontribusi pada paradoks ini, sorotan tajam mengarah pada pada peranan diet atau konsumsi makanan. 

Menelusuri jalinan rumit pengaruh sosial, sebuah studi memulai pencarian untuk mengurai determinan sosiodemografi yang membentuk kebiasaan makan dalam masyarakat, selaras dengan misi utama Sustainable Development Goals (SDGs) SDG Tujuan 3: Memastikan kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua di segala usia.

Menelusuri pengaruh sosiodemografi, penelitian ini menemukan determinan penting yang membentuk kebiasaan makan. Data sekunder yang dieksplorasi merupakan preferensi diet 4.963 orang dewasa yang terdaftar sebagai responden HDSS Sleman. Penelitian ini menemukan sebuah potret kebiasaan makan penduduk Sleman yang cukup mengejutkan. Sebanyak 82,4% responden mengaku sering mengonsumsi makanan manis dan 62% responden mengonsumsi makanan berlemak tinggi. Monosodium glutamate (MSG), si penambah rasa, yang lebih dikenal dengan sebutan micin dengan kadar tinggi dikonsumsi 75,5% responden. Kenikmatan makanan dengan cita rasa asin juga menguasai selera 46% responden.

Perempuan dan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pola makan yang lebih sehat. Perempuan cenderung jarang mengonsumsi makanan manis dan minuman manis dibandingkan dengan pria. Demikian pula, mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan lebih rendah untuk memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat. 

Selain jenis kelamin dan pendidikan, ditemukan pula hubungan potensial antara status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal terhadap praktik makanan yang lebih sehat. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangganya semakin sering seseorang mengonsumsi makanan dan minuman manis. Sebaliknya, individu yang lebih tua dan mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih jarang mengonsumsi makanan dengan MSG.  Individu yang lebih tua, terutama mereka yang berusia 50 tahun ke atas, juga lebih jarang mengonsumsi makanan dengan kandungan garam dan lemak tinggi. Temuan ini mengindikasikan perubahan preferensi makanan di berbagai tahap kehidupan, dengan individu yang lebih tua menunjukkan kecenderungan menuju pilihan yang lebih sadar akan kesehatan.

Memahami hubungan yang kompleks antara faktor sosiodemografi dan kebiasaan makan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan di Sleman. Dengan memanfaatkan wawasan ini, pembuat kebijakan dan ahli kesehatan masyarakat dapat memetakan jalan menuju promosi pola makan yang lebih sehat, misalnya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan makanan yang lebih sehat. Sehingga pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian SDG Tujuan 3 dan membina komunitas di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalani hidup sehat.

 

Penulis: Septi Kurnia Lestari
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:05 pm

 

Referensi:

Lestari, S. K., Hartriyanti, Y., & Wardani, R. K. (2022). Unhealthy Diets among Adult Populations in Sleman Districts, Yogyakarta: Pattern and Related Sociodemographic Determinants, Findings from Sleman HDSS. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 10(2), 103-113. https://doi.org/10.14710/jgi.10.2.103-113

 

Stroke, penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia, terus-menerus menjadi tantangan kesehatan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, para peneliti telah menggali lebih dalam untuk mengungkap prevalensi dan faktor risiko yang terkait dengan kondisi yang melemahkan ini. Temuan mereka menawarkan wawasan penting yang dapat membuka jalan bagi intervensi yang efektif dan meningkatkan kesejahteraan individu. sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Goals 3: Menjamin kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua usia.

Penelitian ini merupakan penelitian yang memanfaatkan data sekunder HDSS ( Health and Demographic Surveillance System) Sleman yang dilakukan oleh Dr. dr. Ismail Setyopranoto, Sp.S(K). dan tim.  Studi ini, analisis sekunder dari data yang dikumpulkan pada tahun 2016, mencakup spektrum demografi dan strata sosial ekonomi yang luas di Kabupaten Sleman. Sebanyak 13.605 individu berusia 20 tahun ke atas diikutsertakan, memberikan gambaran lengkap tentang profil kesehatan masyarakat. Khususnya, di antara 4.884 subjek dengan data yang tersedia tentang faktor risiko stroke, prevalensi stroke secara keseluruhan mencapai 1,4%, yang menggarisbawahi beban signifikan penyakit tidak menular ini di wilayah tersebut.

Seiring bertambahnya usia, prevalensi stroke juga meningkat, mengikuti tren global yang diamati pada populasi yang menua. Hipertensi ditemukan sebagai musuh faktor risiko yang kuat, dengan individu yang melaporkan riwayat kondisi ini menunjukkan peningkatan risiko stroke yang mengejutkan sebesar 8,37 kali lipat. Demikian pula, diabetes mellitus muncul sebagai faktor pendukung yang kuat, memperkuat kemungkinan stroke sebesar 2,87 kali. Temuan ini menjelaskan hubungan yang saling terkait antara penyakit kronis dan stroke, mendesak tindakan proaktif untuk menekan prevalensi mereka dan mengurangi risiko terkait.

Dalam bidang kesehatan masyarakat, pencegahan memegang peranan tertinggi, menawarkan perisai yang tangguh terhadap serangan penyakit. Dengan meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan gaya hidup, seperti diet sehat dan pengelolaan hipertensi dan diabetes yang baik, masyarakat dapat melindungi diri mereka sendiri dari serangan stroke. Memberdayakan individu dengan pengetahuan dan akses ke layanan kesehatan penting merupakan langkah penting untuk mencegah kejadian stroke.

Dengan memanfaatkan kekuatan penelitian berbasis masyarakat dan memanfaatkan wawasan untuk mendorong intervensi berbasis bukti, kita semakin dekat menuju realisasi TPB 3, memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang usia atau keadaan, dapat berkembang di dunia di mana kesehatan adalah hak universal. Mari kita mengindahkan ajakan untuk bertindak, memulai perjalanan kolektif menuju kehidupan yang lebih sehat dan masa depan yang lebih cerah untuk generasi mendatang.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 22 February 2024 at 3:27 pm

 

Referensi:

Setyopranoto, I., Bayuangga, H. F., Panggabean, A. S., Alifaningdyah, S., Lazuardi, L., Dewi, F. S. T., & Malueka, R. G. (2019). Prevalence of Stroke and Associated Risk Factors in Sleman District of Yogyakarta Special Region, Indonesia. Stroke research and treatment, 2019, 2642458. https://doi.org/10.1155/2019/2642458

 

Di dunia nutrisi anak, informasi tentang apa yang dimakan anak-anak sangat penting untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan mereka. Tetapi bagaimana kita bisa secara akurat mengukur asupan makronutrien pada anak di bawah usia lima tahun, mengingat tantangan biaya, keandalan, dan beragamnya jenis makanan regional? Sebuah studi telah menghasilkan alat ukur asupan gizi yang andal: Sleman Under Five Children SQ-FFQ (SUFS). Penelitian ini merupakan penelitian tersarang di HDSS Sleman yang dipimpin oleh Ibu Yayuk Hartriyanti, S.KM., M.Kes.

Penelitian ini selaras dengan SDG Tujuan 3. Dengan mengembangkan dan memvalidasi alat yang dapat diandalkan untuk menilai asupan makronutrien pada anak di bawah lima tahun, SUFS berkontribusi langsung dalam penelitian status gizi anak yang secara tidak langsung mempromosikan kehidupan sehat dan kesejahteraan, terutama pada tahun-tahun awal perkembangan anak yang kritis.

Penilaian gizi yang akurat sangat penting untuk mengatasi kekurangan gizi dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, terutama di antara populasi rentan seperti anak kecil. SUFS merupakan alat yang valid dan dapat diandalkan untuk mengumpulkan data makanan. Data yang dikumpulkan dapat digunakan oleh tenaga profesional kesehatan dan pembuat kebijakan untuk menyesuaikan intervensi yang mendorong nutrisi optimal dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.

Selain itu, SUFS berfungsi sebagai katalis untuk memajukan upaya penelitian dan kebijakan yang bertujuan mengatasi tantangan gizi pada anak usia dini. Dengan menyediakan data yang kuat tentang asupan makronutrien, para peneliti dapat mengidentifikasi tren, kesenjangan, dan area untuk intervensi yang ditargetkan, yang pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian SDG Tujuan 3 dengan mempromosikan strategi berbasis bukti untuk meningkatkan hasil kesehatan anak.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan dan validasi SUFS merupakan langkah maju yang signifikan dalam mengejar SDG Tujuan 3. Dengan meningkatkan kemampuan kita untuk menilai dan memantau asupan gizi anak, alat inovatif ini berpotensi mendorong kemajuan yang berarti ke arah memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua, mulai dari tahap awal kehidupan. Ketika kita terus memanfaatkan kekuatan penelitian dan inovasi, kita semakin dekat untuk mewujudkan dunia di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 22 February 2024 at 3:05 pm

 

Referensi: Hartriyanti, Y., Melindha, N. D., Wardani, R. K., Ermamilia, A., & Lestari, S. K. (2023). The Valid and Reliable Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire among the Sleman Under Five Children. INQUIRY: The Journal of Health Care Organization, Provision, and Financing60, 00469580231152323.

 

Source: image by Freepik

Interning abroad involves various new and exciting challenges. For Anna, a young intern from Sweden, her time in Indonesia, specifically in Yogyakarta, or better known as Jogja, offered more than just professional growth; it presented an interesting challenge – the struggle to find, order and buy healthy food, especially from restaurants.  Anna’s story highlights the importance of a balanced diet and how it impacts overall well-being, regardless of one’s geographical location.

Indonesia, with its rich culinary diversity, presents a paradoxical food landscape where abundance coexists with nutritional challenges that resonates with Sustainable Development Goals 2 and 3. Anna’s struggle highlights the critical need for access to nutritious food, a core aspect of SDG 2, which aims to end hunger and promote sustainable agriculture. Simultaneously, it reflects SDG 3’s emphasis on ensuring healthy lives and promoting well-being, as proper nourishment is integral to maintaining good health and vitality. This situation in Indonesia mirrors a global concern where dietary habits are influenced by the availability and affordability of food, impacting both physical and mental health outcomes. Anna’s experience serves as a microcosm of the ongoing efforts to achieve food security and improved nutrition, advocating for a systemic approach to address these intertwined goals.

 

The Struggle for Healthy Food

Source: image by Freepik

As Anna started her internship adventure in Indonesia, she quickly realised that her dietary needs would not be easily met. Coming from a country where fresh, organic produce and balanced meals are the norm, she was taken aback by the prevalence of fried and oily foods in Indonesia. Anna usually ate granola, sandwich, and porridge for breakfast, but when she moved to Indonesia, it was not the same. After talking to a friend who told her about black rice porridge, she adapted and fell in love with ‘bubur ketan hitam’, which is healthy but sweet. Anna started to feel like all she ate was rice, but she understood it as she saw lots of rice fields in the country due to its tropical climate; which was conducive to rice cultivation making rice an affordable option. Despite the struggle, she loved nasi goreng and some spicy food!

Street food offered delicious, yet less nutritious options and seemed to dominate the culinary landscape, leaving Anna longing for healthier alternatives. Anna browsed on the food delivery app, but she ended up ordering a fruit salad that came with plenty of mayo in it. Anna started to question whether she should adapt to eating fritters, fried food, and rice, or not give up yet.

 

Navigating the Culture of Fried Food

Source: image by Freepik

Amidst the abundance of fried food options, Anna felt a pang of nostalgia for the wholesome, nutrient-rich meals she was accustomed to in Sweden. After a conversation with a colleague who expressed Yogyakarta people’s love for fritters and how fried food may be the reason for high cardiovascular disease in the city. A research study focused on adolescents in Yogyakarta suggests that inadequate dietary choices and high sugar are a risk for cardiovascular diseases in the region1. Although Anna faced the challenge of finding suitable alternatives, she began to explore local markets, seeking out fruits, vegetables, and ingredients that aligned with her dietary preferences. Although initially disheartened by the lack of readily available healthy options, her determination led her to discover a select few vendors that offered healthier alternatives.

 

The Health Impact

As Anna persisted in her quest for nutritious meals, she soon noticed the positive effects on her well-being. By incorporating more fruits, vegetables, and balanced dishes into her diet, she experienced increased energy levels, a clearer mind, and overall improved physical health. The shift towards healthier choices not only nourished her body, but also enhanced her productivity and ability to cope with the challenges of her daily living.

 

Emphasising the Importance of Healthy Food

Source: image by Freepik

Anna’s struggle highlights the universal importance of healthy food choices, regardless of one’s location. Irrespective of cultural differences, nourishing our bodies with essential nutrients is crucial for optimal physical and mental well-being. Adequate nutrition plays a vital role in supporting bodily functions, boosting the immune system’s  strength, and reducing the risk of chronic diseases. Furthermore, incorporating a wholesome diet positively impacts energy levels, cognitive abilities, and emotional stability2.

 

An Opportunity for Cultural Exchange

Anna’s search for healthier options became a gateway to cultural understanding. Through her interactions with local food vendors and expressing her desire for nutritious meals, she engaged in conversations about traditional Indonesian ingredients, cooking techniques, and indigenous recipes. This exchange allowed for a deeper appreciation of the culinary heritage of Indonesia and fostered a greater connection between Anna and the local community. Anna was in love with gado-gado, an Indonesian dish of cooked vegetables and hard-boiled eggs served with the yummiest peanut sauce that contains lemongrass too. Anna loved the sauce and everything about gado-gado.

Source: image by Freepik

Anna’s experience as an intern from Sweden in Indonesia serves as a powerful reminder of the significance of healthy food choices, even when faced with challenges in an unfamiliar environment. As she navigated the prevalence of fried and oily foods, Anna’s commitment to finding nutritious alternatives not only benefited her personal health but also fostered cultural understanding. This tale reinforces the crucial role that healthy food plays in our overall well-being, regardless of the challenges faced. It serves as a reminder that, no matter where we are in the world, the importance of nourishing our bodies through balanced and nutritious meals remains paramount. Currently, Anna has returned to Sweden and cherishes the moments when she was in her batik drinking coconut water and trying some tropical fruits for the first time. Anna is thankful for her experience in Yogyakarta.

 

 

By: Sarah Gumush & Dewi Caesaria Fitriani
Editor: Septi Kurnia Lestari

Reference

1Murni IK, Sulistyoningrum DC, Susilowati R, Julia M, Dickinson KM. The association between dietary intake and cardiometabolic risk factors among obese adolescents in Indonesia. BMC pediatrics. 2022 Dec;22(1):1-9.

2Shlisky J, Bloom DE, Beaudreault AR, Tucker KL, Keller HH, Freund-Levi Y, Fielding RA, Cheng FW, Jensen GL, Wu D, Meydani SN. Nutritional considerations for healthy aging and reduction in age-related chronic disease. Advances in nutrition. 2017 Jan 1;8(1):17-26.

Source: image by Freepik

Anis moved from the rural areas to the urban areas of Yogyakarta. He is thinking about his move while stuck in traffic, and hearing construction work, music and cars beeping in the background. Anis has faced challenging experiences that have left him stressed. Exhausted? Nervous? He is unsure, but it is just getting worse, and he is losing his energy. Could his relocation from a rural area to an urban area impact his feelings? Is urbanisation getting to him? Anis is uncertain and needs help. Let’s explore Anis’ experience with urbanisation!

Based on data from the Central Bureau of Statistics data, in the year 2000, around 3,120,4781 individuals lived in Yogyakarta. However, as the years passed, people like Anis have moved to the city seeking better opportunities. By 2023, the population of Yogyakarta was estimated to be around 4,073,9072. Despite the economic developments due to population increase, it can get hectic with the traffic, noise pollution and opportunities. Across the world, there are many people like Anis migrate from rural to urban areas and experience what Anis’s going through. But what exactly is happening to Anis? Let’s get exploring.

Source: image by Sarah Gumush

Yogyakarta, a cultural hub nestled in the heart of Java, Indonesia, is undergoing a profound transformation shaped by rapid urbanisation. As the city grapples with the dual challenges of preserving its rich cultural heritage and accommodating the demands of modernity, urbanisation in Yogyakarta is reshaping its landscape and dynamics. The traditionally vibrant markets and historical landmarks now coexist with burgeoning high-rises and contemporary infrastructure projects3.

Yogyakarta, once primarily known for its serene rural landscapes and historical charm, has undergone a transformative journey into urbanity. Over the years, the city has experienced a rapid shift, marked by growing infrastructure, increasing population density, and a dynamic blend of tradition and modernity. The skyline, once dominated by traditional Javanese architecture, now features a mix of contemporary structures, reflecting the city’s evolving identity. As Yogyakarta embraces its urban character, there has been a noticeable surge in economic activities, educational institutions, and cultural diversity. The transition has brought both opportunities and challenges, with improved connectivity and job prospects on one hand, and issues of traffic congestion and environmental concerns on the other. The arrival of residents like Anis, seeking economic opportunities and a better life, has led to the expansion of urban areas, impacting local communities and fostering a unique blend of tradition and progress4. However, there are both positives and negatives to urbanisation, which we will explore further.

Source: image by Freepik

Urban living often leads to improved access to education, healthcare, and infrastructure. However, the rapid pace of urbanisation can also pose challenges. Overcrowded cities may face issues like traffic congestion, pollution, and inadequate housing, leading to a decline in the quality of life. It appears that Anis may be experiencing a lack of energy, anxiety, or a depressive disorder, but he has not yet sought mental health support5. Although there is better access to healthcare in urban areas, individuals are often too preoccupied with the demands of urban living and, ironically, its stressors.

The transition of Yogyakarta from a rural to an urban setting presents a unique case study in the context of Sustainable Development Goals 3 and 11. As the region undergoes urbanisation, the mental health of its residents becomes a critical concern. Urbanisation can lead to increased stress due to factors such as overcrowding, pollution, and the fast pace of city life. These stressors can exacerbate mental health issues, making SDG 3’s objective to promote well-being for all increasingly relevant. Concurrently, SDG 11’s aim to create sustainable cities and communities is vital in ensuring that urban growth does not compromise mental health. This necessitates the implementation of policies that balance development with green spaces, community support systems, and accessible healthcare services, fostering an environment where mental well-being is a priority in the face of rapid urban change.

Source: image by Freepik

Back to Anis, while on his way to work, he received a call from a friend. This friend explained to him how he was feeling very stressed, nervous and had no energy. The way Anis’ friend explained what he was going through made Anis suggest he visit the doctors. Then, Anis’ friend turned back and said to Anis, “My friend, I am just telling you what you told me you were going through, maybe you should visit the doctors and I did some research for you. Visit the nearest community health center (Puskesmas) for mental health service. You will receive a diagnosis from the professionals there or referred to a nearby hospital for further treatment”. Anis nodded, ready to take notes as he never considered visiting such professionals. His friend said afterwards that Anis may receive therapy, medication, or simple advice on necessary lifestyle adjustments. Anis’ friend explained to him how urban living can be stressful, but he also highlighted that we have better access to all types of help.

After the conversation, Anis began to reflect on his way back home. He realised that living a routine life where he has to constantly worry about the high living costs, the bills he has to pay, work pressure and general competition, and the social comparison culture that urban life generally fosters. Anis decided to take his friend’s advice and began to seek mental health support.

One year later…

After Anis starts to work with his mental health and care for himself first, he ensures he takes some time out for the family. Whenever he feels stressed, he talks it out with his wife and when he needs more support, he doesn’t hesitate to revisit his therapist.

 

By: Sarah Gumush & Dewi Caesaria Fitriani
Editor: Septi Kurnia Lestari

Reference

1Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik/BPS). (2020). Population, Population Growth Rate, Percentage Distribution of Population, Population Density, and Population Sex Ratio by Regency/Municipality in D.I. Yogyakarta, 2000, 2010 and 2019. Retrieved December 13, 2023 from https://yogyakarta.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html#subjekViewTab3

2Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik/BPS). (2022). Projection of Number of Population Estimation by Regency/City in D.I. Yogyakarta (People), 2023-2025. Retrieved December 13, 2023 from https://yogyakarta.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html#subjekViewTab3

3Tulus, R. and Ramadan, B. (2021) ‘Typology and peri-urban development of Yogyakarta City and surrounding’, International Journal of Engineering Technology and Natural Sciences, 3(2), pp. 74–81. doi:10.46923/ijets.v3i2.138.

4Nadrian, H., Mahmoodi, H., Taghdisi, M. H., Aghemiri, M., Babazadeh, T., Ansari, B., & Fathipour, A. (2020). Public health impacts of urban traffic jam in Sanandaj, Iran: A case study with mixed-method design. Journal of Transport & Health, 19, 100923.

5Erzen, E., & Çikrikci, Ö. (2018). The effect of loneliness on depression: A meta-analysis. International Journal of Social Psychiatry, 64(5), 427-435.

Sebagai unit yang telah menjalankan program kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat selama 9 tahun, HDSS Sleman rutin melakukan pertemuan manajemen agar HDSS Sleman dapat menjalankan program kegiatan yang tidak hanya bermanfaat tetapi juga berkelanjutan. Pengelola HDSS Sleman berkumpul untuk merumuskan arah dan target capaian untuk tahun 2024. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas kegiatan yang akan datang dan menyelaraskannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kegiatan utama HDSS Sleman tahun 2024 ini berfokus pada penyelesaian pengumpulan data siklus 9, pengumpulan data autopsi verbal, pengabdian masyarakat, dan persiapan pengumpulan data siklus 10 tahun 2025. Mayoritas kegiatan utama HDSS Sleman berupa pengumpulan data kesehatan dan demografi berkelanjutan ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan.

Dalam diskusi tersebut juga dibuat perencanaan untuk mengidentifikasi bagaimana setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat Kabupaten Sleman yang menjadi responden dalam pengumpulan HDSS Sleman sejak tahun 2015 diharapkan dapat berlanjut dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Melalui refleksi terhadap pencapaian dan tantangan tahun 2023, dalam rapat tersebut dibahas permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan dan rencana untuk perbaikan. Kemudian diskusi memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan yang direncanakan untuk 2024, dengan fokus utama pada kegiatan yang berkelanjutan dan rutin dilakukan seperti pengumpulan data, pengabdian masyarakat, dan potensi pendanaan penelitian.

HDSS Sleman berkomitmen untuk mengumpulkan data dan menghasilkan analisis data kesehatan dan demografis yang berkualitas agar dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas kesehatan di masyarakat. Untuk mendukung hal ini, pertemuan tersebut merencanakan pelaksanaan workshop analisis data. Hal ini penting untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi kesehatan dan demografi masyarakat, serta menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang efektif.

Perencanaan persiapan pengumpulan data siklus 10 pada tahun 2025 diharapkan dapat berjalan lancar. Ini adalah langkah penting untuk memastikan kelangsungan program surveilans dan penelitian dalam jangka panjang. Kegiatan ini mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas, dengan menghasilkan data yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang isu-isu kesehatan dan demografi di masyarakat. Melalui upaya berupa diskusi perencanaan kegiatan dalam satu tahun, HDSS Sleman berharap dapat terus memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, baik secara lokal maupun global.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Foto: Naufal Farah Azizah