Kabupaten Sleman yang merupakan jantung Provinsi Yogyakarta identik dengan penduduknya yang berumur panjang namun bergulat dengan bayang-bayang penyakit tidak menular (PTM). Diantara berbagai faktor yang berkontribusi pada paradoks ini, sorotan tajam mengarah pada pada peranan diet atau konsumsi makanan. 

Menelusuri jalinan rumit pengaruh sosial, sebuah studi memulai pencarian untuk mengurai determinan sosiodemografi yang membentuk kebiasaan makan dalam masyarakat, selaras dengan misi utama Sustainable Development Goals (SDGs) SDG Tujuan 3: Memastikan kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua di segala usia.

Menelusuri pengaruh sosiodemografi, penelitian ini menemukan determinan penting yang membentuk kebiasaan makan. Data sekunder yang dieksplorasi merupakan preferensi diet 4.963 orang dewasa yang terdaftar sebagai responden HDSS Sleman. Penelitian ini menemukan sebuah potret kebiasaan makan penduduk Sleman yang cukup mengejutkan. Sebanyak 82,4% responden mengaku sering mengonsumsi makanan manis dan 62% responden mengonsumsi makanan berlemak tinggi. Monosodium glutamate (MSG), si penambah rasa, yang lebih dikenal dengan sebutan micin dengan kadar tinggi dikonsumsi 75,5% responden. Kenikmatan makanan dengan cita rasa asin juga menguasai selera 46% responden.

Perempuan dan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pola makan yang lebih sehat. Perempuan cenderung jarang mengonsumsi makanan manis dan minuman manis dibandingkan dengan pria. Demikian pula, mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan lebih rendah untuk memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat. 

Selain jenis kelamin dan pendidikan, ditemukan pula hubungan potensial antara status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal terhadap praktik makanan yang lebih sehat. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangganya semakin sering seseorang mengonsumsi makanan dan minuman manis. Sebaliknya, individu yang lebih tua dan mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih jarang mengonsumsi makanan dengan MSG.  Individu yang lebih tua, terutama mereka yang berusia 50 tahun ke atas, juga lebih jarang mengonsumsi makanan dengan kandungan garam dan lemak tinggi. Temuan ini mengindikasikan perubahan preferensi makanan di berbagai tahap kehidupan, dengan individu yang lebih tua menunjukkan kecenderungan menuju pilihan yang lebih sadar akan kesehatan.

Memahami hubungan yang kompleks antara faktor sosiodemografi dan kebiasaan makan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan di Sleman. Dengan memanfaatkan wawasan ini, pembuat kebijakan dan ahli kesehatan masyarakat dapat memetakan jalan menuju promosi pola makan yang lebih sehat, misalnya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan makanan yang lebih sehat. Sehingga pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian SDG Tujuan 3 dan membina komunitas di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalani hidup sehat.

 

Penulis: Septi Kurnia Lestari
Editor: Naufal Farah Azizah
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 23 February 2024 at 12:05 pm

 

Referensi:

Lestari, S. K., Hartriyanti, Y., & Wardani, R. K. (2022). Unhealthy Diets among Adult Populations in Sleman Districts, Yogyakarta: Pattern and Related Sociodemographic Determinants, Findings from Sleman HDSS. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 10(2), 103-113. https://doi.org/10.14710/jgi.10.2.103-113

 

Stroke, penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia, terus-menerus menjadi tantangan kesehatan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, para peneliti telah menggali lebih dalam untuk mengungkap prevalensi dan faktor risiko yang terkait dengan kondisi yang melemahkan ini. Temuan mereka menawarkan wawasan penting yang dapat membuka jalan bagi intervensi yang efektif dan meningkatkan kesejahteraan individu. sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Goals 3: Menjamin kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua usia.

Penelitian ini merupakan penelitian yang memanfaatkan data sekunder HDSS ( Health and Demographic Surveillance System) Sleman yang dilakukan oleh Dr. dr. Ismail Setyopranoto, Sp.S(K). dan tim.  Studi ini, analisis sekunder dari data yang dikumpulkan pada tahun 2016, mencakup spektrum demografi dan strata sosial ekonomi yang luas di Kabupaten Sleman. Sebanyak 13.605 individu berusia 20 tahun ke atas diikutsertakan, memberikan gambaran lengkap tentang profil kesehatan masyarakat. Khususnya, di antara 4.884 subjek dengan data yang tersedia tentang faktor risiko stroke, prevalensi stroke secara keseluruhan mencapai 1,4%, yang menggarisbawahi beban signifikan penyakit tidak menular ini di wilayah tersebut.

Seiring bertambahnya usia, prevalensi stroke juga meningkat, mengikuti tren global yang diamati pada populasi yang menua. Hipertensi ditemukan sebagai musuh faktor risiko yang kuat, dengan individu yang melaporkan riwayat kondisi ini menunjukkan peningkatan risiko stroke yang mengejutkan sebesar 8,37 kali lipat. Demikian pula, diabetes mellitus muncul sebagai faktor pendukung yang kuat, memperkuat kemungkinan stroke sebesar 2,87 kali. Temuan ini menjelaskan hubungan yang saling terkait antara penyakit kronis dan stroke, mendesak tindakan proaktif untuk menekan prevalensi mereka dan mengurangi risiko terkait.

Dalam bidang kesehatan masyarakat, pencegahan memegang peranan tertinggi, menawarkan perisai yang tangguh terhadap serangan penyakit. Dengan meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan gaya hidup, seperti diet sehat dan pengelolaan hipertensi dan diabetes yang baik, masyarakat dapat melindungi diri mereka sendiri dari serangan stroke. Memberdayakan individu dengan pengetahuan dan akses ke layanan kesehatan penting merupakan langkah penting untuk mencegah kejadian stroke.

Dengan memanfaatkan kekuatan penelitian berbasis masyarakat dan memanfaatkan wawasan untuk mendorong intervensi berbasis bukti, kita semakin dekat menuju realisasi TPB 3, memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang usia atau keadaan, dapat berkembang di dunia di mana kesehatan adalah hak universal. Mari kita mengindahkan ajakan untuk bertindak, memulai perjalanan kolektif menuju kehidupan yang lebih sehat dan masa depan yang lebih cerah untuk generasi mendatang.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 22 February 2024 at 3:27 pm

 

Referensi:

Setyopranoto, I., Bayuangga, H. F., Panggabean, A. S., Alifaningdyah, S., Lazuardi, L., Dewi, F. S. T., & Malueka, R. G. (2019). Prevalence of Stroke and Associated Risk Factors in Sleman District of Yogyakarta Special Region, Indonesia. Stroke research and treatment, 2019, 2642458. https://doi.org/10.1155/2019/2642458

 

Di dunia nutrisi anak, informasi tentang apa yang dimakan anak-anak sangat penting untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan mereka. Tetapi bagaimana kita bisa secara akurat mengukur asupan makronutrien pada anak di bawah usia lima tahun, mengingat tantangan biaya, keandalan, dan beragamnya jenis makanan regional? Sebuah studi telah menghasilkan alat ukur asupan gizi yang andal: Sleman Under Five Children SQ-FFQ (SUFS). Penelitian ini merupakan penelitian tersarang di HDSS Sleman yang dipimpin oleh Ibu Yayuk Hartriyanti, S.KM., M.Kes.

Penelitian ini selaras dengan SDG Tujuan 3. Dengan mengembangkan dan memvalidasi alat yang dapat diandalkan untuk menilai asupan makronutrien pada anak di bawah lima tahun, SUFS berkontribusi langsung dalam penelitian status gizi anak yang secara tidak langsung mempromosikan kehidupan sehat dan kesejahteraan, terutama pada tahun-tahun awal perkembangan anak yang kritis.

Penilaian gizi yang akurat sangat penting untuk mengatasi kekurangan gizi dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, terutama di antara populasi rentan seperti anak kecil. SUFS merupakan alat yang valid dan dapat diandalkan untuk mengumpulkan data makanan. Data yang dikumpulkan dapat digunakan oleh tenaga profesional kesehatan dan pembuat kebijakan untuk menyesuaikan intervensi yang mendorong nutrisi optimal dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.

Selain itu, SUFS berfungsi sebagai katalis untuk memajukan upaya penelitian dan kebijakan yang bertujuan mengatasi tantangan gizi pada anak usia dini. Dengan menyediakan data yang kuat tentang asupan makronutrien, para peneliti dapat mengidentifikasi tren, kesenjangan, dan area untuk intervensi yang ditargetkan, yang pada akhirnya berkontribusi pada pencapaian SDG Tujuan 3 dengan mempromosikan strategi berbasis bukti untuk meningkatkan hasil kesehatan anak.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan dan validasi SUFS merupakan langkah maju yang signifikan dalam mengejar SDG Tujuan 3. Dengan meningkatkan kemampuan kita untuk menilai dan memantau asupan gizi anak, alat inovatif ini berpotensi mendorong kemajuan yang berarti ke arah memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua, mulai dari tahap awal kehidupan. Ketika kita terus memanfaatkan kekuatan penelitian dan inovasi, kita semakin dekat untuk mewujudkan dunia di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.

 

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Ilustrasi: Generated with AI ∙ 22 February 2024 at 3:05 pm

 

Referensi: Hartriyanti, Y., Melindha, N. D., Wardani, R. K., Ermamilia, A., & Lestari, S. K. (2023). The Valid and Reliable Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire among the Sleman Under Five Children. INQUIRY: The Journal of Health Care Organization, Provision, and Financing60, 00469580231152323.

 

Source: image by Freepik

Interning abroad involves various new and exciting challenges. For Anna, a young intern from Sweden, her time in Indonesia, specifically in Yogyakarta, or better known as Jogja, offered more than just professional growth; it presented an interesting challenge – the struggle to find, order and buy healthy food, especially from restaurants.  Anna’s story highlights the importance of a balanced diet and how it impacts overall well-being, regardless of one’s geographical location.

Indonesia, with its rich culinary diversity, presents a paradoxical food landscape where abundance coexists with nutritional challenges that resonates with Sustainable Development Goals 2 and 3. Anna’s struggle highlights the critical need for access to nutritious food, a core aspect of SDG 2, which aims to end hunger and promote sustainable agriculture. Simultaneously, it reflects SDG 3’s emphasis on ensuring healthy lives and promoting well-being, as proper nourishment is integral to maintaining good health and vitality. This situation in Indonesia mirrors a global concern where dietary habits are influenced by the availability and affordability of food, impacting both physical and mental health outcomes. Anna’s experience serves as a microcosm of the ongoing efforts to achieve food security and improved nutrition, advocating for a systemic approach to address these intertwined goals.

 

The Struggle for Healthy Food

Source: image by Freepik

As Anna started her internship adventure in Indonesia, she quickly realised that her dietary needs would not be easily met. Coming from a country where fresh, organic produce and balanced meals are the norm, she was taken aback by the prevalence of fried and oily foods in Indonesia. Anna usually ate granola, sandwich, and porridge for breakfast, but when she moved to Indonesia, it was not the same. After talking to a friend who told her about black rice porridge, she adapted and fell in love with ‘bubur ketan hitam’, which is healthy but sweet. Anna started to feel like all she ate was rice, but she understood it as she saw lots of rice fields in the country due to its tropical climate; which was conducive to rice cultivation making rice an affordable option. Despite the struggle, she loved nasi goreng and some spicy food!

Street food offered delicious, yet less nutritious options and seemed to dominate the culinary landscape, leaving Anna longing for healthier alternatives. Anna browsed on the food delivery app, but she ended up ordering a fruit salad that came with plenty of mayo in it. Anna started to question whether she should adapt to eating fritters, fried food, and rice, or not give up yet.

 

Navigating the Culture of Fried Food

Source: image by Freepik

Amidst the abundance of fried food options, Anna felt a pang of nostalgia for the wholesome, nutrient-rich meals she was accustomed to in Sweden. After a conversation with a colleague who expressed Yogyakarta people’s love for fritters and how fried food may be the reason for high cardiovascular disease in the city. A research study focused on adolescents in Yogyakarta suggests that inadequate dietary choices and high sugar are a risk for cardiovascular diseases in the region1. Although Anna faced the challenge of finding suitable alternatives, she began to explore local markets, seeking out fruits, vegetables, and ingredients that aligned with her dietary preferences. Although initially disheartened by the lack of readily available healthy options, her determination led her to discover a select few vendors that offered healthier alternatives.

 

The Health Impact

As Anna persisted in her quest for nutritious meals, she soon noticed the positive effects on her well-being. By incorporating more fruits, vegetables, and balanced dishes into her diet, she experienced increased energy levels, a clearer mind, and overall improved physical health. The shift towards healthier choices not only nourished her body, but also enhanced her productivity and ability to cope with the challenges of her daily living.

 

Emphasising the Importance of Healthy Food

Source: image by Freepik

Anna’s struggle highlights the universal importance of healthy food choices, regardless of one’s location. Irrespective of cultural differences, nourishing our bodies with essential nutrients is crucial for optimal physical and mental well-being. Adequate nutrition plays a vital role in supporting bodily functions, boosting the immune system’s  strength, and reducing the risk of chronic diseases. Furthermore, incorporating a wholesome diet positively impacts energy levels, cognitive abilities, and emotional stability2.

 

An Opportunity for Cultural Exchange

Anna’s search for healthier options became a gateway to cultural understanding. Through her interactions with local food vendors and expressing her desire for nutritious meals, she engaged in conversations about traditional Indonesian ingredients, cooking techniques, and indigenous recipes. This exchange allowed for a deeper appreciation of the culinary heritage of Indonesia and fostered a greater connection between Anna and the local community. Anna was in love with gado-gado, an Indonesian dish of cooked vegetables and hard-boiled eggs served with the yummiest peanut sauce that contains lemongrass too. Anna loved the sauce and everything about gado-gado.

Source: image by Freepik

Anna’s experience as an intern from Sweden in Indonesia serves as a powerful reminder of the significance of healthy food choices, even when faced with challenges in an unfamiliar environment. As she navigated the prevalence of fried and oily foods, Anna’s commitment to finding nutritious alternatives not only benefited her personal health but also fostered cultural understanding. This tale reinforces the crucial role that healthy food plays in our overall well-being, regardless of the challenges faced. It serves as a reminder that, no matter where we are in the world, the importance of nourishing our bodies through balanced and nutritious meals remains paramount. Currently, Anna has returned to Sweden and cherishes the moments when she was in her batik drinking coconut water and trying some tropical fruits for the first time. Anna is thankful for her experience in Yogyakarta.

 

 

By: Sarah Gumush & Dewi Caesaria Fitriani
Editor: Septi Kurnia Lestari

Reference

1Murni IK, Sulistyoningrum DC, Susilowati R, Julia M, Dickinson KM. The association between dietary intake and cardiometabolic risk factors among obese adolescents in Indonesia. BMC pediatrics. 2022 Dec;22(1):1-9.

2Shlisky J, Bloom DE, Beaudreault AR, Tucker KL, Keller HH, Freund-Levi Y, Fielding RA, Cheng FW, Jensen GL, Wu D, Meydani SN. Nutritional considerations for healthy aging and reduction in age-related chronic disease. Advances in nutrition. 2017 Jan 1;8(1):17-26.

Source: image by Freepik

Anis moved from the rural areas to the urban areas of Yogyakarta. He is thinking about his move while stuck in traffic, and hearing construction work, music and cars beeping in the background. Anis has faced challenging experiences that have left him stressed. Exhausted? Nervous? He is unsure, but it is just getting worse, and he is losing his energy. Could his relocation from a rural area to an urban area impact his feelings? Is urbanisation getting to him? Anis is uncertain and needs help. Let’s explore Anis’ experience with urbanisation!

Based on data from the Central Bureau of Statistics data, in the year 2000, around 3,120,4781 individuals lived in Yogyakarta. However, as the years passed, people like Anis have moved to the city seeking better opportunities. By 2023, the population of Yogyakarta was estimated to be around 4,073,9072. Despite the economic developments due to population increase, it can get hectic with the traffic, noise pollution and opportunities. Across the world, there are many people like Anis migrate from rural to urban areas and experience what Anis’s going through. But what exactly is happening to Anis? Let’s get exploring.

Source: image by Sarah Gumush

Yogyakarta, a cultural hub nestled in the heart of Java, Indonesia, is undergoing a profound transformation shaped by rapid urbanisation. As the city grapples with the dual challenges of preserving its rich cultural heritage and accommodating the demands of modernity, urbanisation in Yogyakarta is reshaping its landscape and dynamics. The traditionally vibrant markets and historical landmarks now coexist with burgeoning high-rises and contemporary infrastructure projects3.

Yogyakarta, once primarily known for its serene rural landscapes and historical charm, has undergone a transformative journey into urbanity. Over the years, the city has experienced a rapid shift, marked by growing infrastructure, increasing population density, and a dynamic blend of tradition and modernity. The skyline, once dominated by traditional Javanese architecture, now features a mix of contemporary structures, reflecting the city’s evolving identity. As Yogyakarta embraces its urban character, there has been a noticeable surge in economic activities, educational institutions, and cultural diversity. The transition has brought both opportunities and challenges, with improved connectivity and job prospects on one hand, and issues of traffic congestion and environmental concerns on the other. The arrival of residents like Anis, seeking economic opportunities and a better life, has led to the expansion of urban areas, impacting local communities and fostering a unique blend of tradition and progress4. However, there are both positives and negatives to urbanisation, which we will explore further.

Source: image by Freepik

Urban living often leads to improved access to education, healthcare, and infrastructure. However, the rapid pace of urbanisation can also pose challenges. Overcrowded cities may face issues like traffic congestion, pollution, and inadequate housing, leading to a decline in the quality of life. It appears that Anis may be experiencing a lack of energy, anxiety, or a depressive disorder, but he has not yet sought mental health support5. Although there is better access to healthcare in urban areas, individuals are often too preoccupied with the demands of urban living and, ironically, its stressors.

The transition of Yogyakarta from a rural to an urban setting presents a unique case study in the context of Sustainable Development Goals 3 and 11. As the region undergoes urbanisation, the mental health of its residents becomes a critical concern. Urbanisation can lead to increased stress due to factors such as overcrowding, pollution, and the fast pace of city life. These stressors can exacerbate mental health issues, making SDG 3’s objective to promote well-being for all increasingly relevant. Concurrently, SDG 11’s aim to create sustainable cities and communities is vital in ensuring that urban growth does not compromise mental health. This necessitates the implementation of policies that balance development with green spaces, community support systems, and accessible healthcare services, fostering an environment where mental well-being is a priority in the face of rapid urban change.

Source: image by Freepik

Back to Anis, while on his way to work, he received a call from a friend. This friend explained to him how he was feeling very stressed, nervous and had no energy. The way Anis’ friend explained what he was going through made Anis suggest he visit the doctors. Then, Anis’ friend turned back and said to Anis, “My friend, I am just telling you what you told me you were going through, maybe you should visit the doctors and I did some research for you. Visit the nearest community health center (Puskesmas) for mental health service. You will receive a diagnosis from the professionals there or referred to a nearby hospital for further treatment”. Anis nodded, ready to take notes as he never considered visiting such professionals. His friend said afterwards that Anis may receive therapy, medication, or simple advice on necessary lifestyle adjustments. Anis’ friend explained to him how urban living can be stressful, but he also highlighted that we have better access to all types of help.

After the conversation, Anis began to reflect on his way back home. He realised that living a routine life where he has to constantly worry about the high living costs, the bills he has to pay, work pressure and general competition, and the social comparison culture that urban life generally fosters. Anis decided to take his friend’s advice and began to seek mental health support.

One year later…

After Anis starts to work with his mental health and care for himself first, he ensures he takes some time out for the family. Whenever he feels stressed, he talks it out with his wife and when he needs more support, he doesn’t hesitate to revisit his therapist.

 

By: Sarah Gumush & Dewi Caesaria Fitriani
Editor: Septi Kurnia Lestari

Reference

1Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik/BPS). (2020). Population, Population Growth Rate, Percentage Distribution of Population, Population Density, and Population Sex Ratio by Regency/Municipality in D.I. Yogyakarta, 2000, 2010 and 2019. Retrieved December 13, 2023 from https://yogyakarta.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html#subjekViewTab3

2Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik/BPS). (2022). Projection of Number of Population Estimation by Regency/City in D.I. Yogyakarta (People), 2023-2025. Retrieved December 13, 2023 from https://yogyakarta.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html#subjekViewTab3

3Tulus, R. and Ramadan, B. (2021) ‘Typology and peri-urban development of Yogyakarta City and surrounding’, International Journal of Engineering Technology and Natural Sciences, 3(2), pp. 74–81. doi:10.46923/ijets.v3i2.138.

4Nadrian, H., Mahmoodi, H., Taghdisi, M. H., Aghemiri, M., Babazadeh, T., Ansari, B., & Fathipour, A. (2020). Public health impacts of urban traffic jam in Sanandaj, Iran: A case study with mixed-method design. Journal of Transport & Health, 19, 100923.

5Erzen, E., & Çikrikci, Ö. (2018). The effect of loneliness on depression: A meta-analysis. International Journal of Social Psychiatry, 64(5), 427-435.

Sebagai unit yang telah menjalankan program kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat selama 9 tahun, HDSS Sleman rutin melakukan pertemuan manajemen agar HDSS Sleman dapat menjalankan program kegiatan yang tidak hanya bermanfaat tetapi juga berkelanjutan. Pengelola HDSS Sleman berkumpul untuk merumuskan arah dan target capaian untuk tahun 2024. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas kegiatan yang akan datang dan menyelaraskannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kegiatan utama HDSS Sleman tahun 2024 ini berfokus pada penyelesaian pengumpulan data siklus 9, pengumpulan data autopsi verbal, pengabdian masyarakat, dan persiapan pengumpulan data siklus 10 tahun 2025. Mayoritas kegiatan utama HDSS Sleman berupa pengumpulan data kesehatan dan demografi berkelanjutan ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan.

Dalam diskusi tersebut juga dibuat perencanaan untuk mengidentifikasi bagaimana setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat Kabupaten Sleman yang menjadi responden dalam pengumpulan HDSS Sleman sejak tahun 2015 diharapkan dapat berlanjut dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Melalui refleksi terhadap pencapaian dan tantangan tahun 2023, dalam rapat tersebut dibahas permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan dan rencana untuk perbaikan. Kemudian diskusi memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan yang direncanakan untuk 2024, dengan fokus utama pada kegiatan yang berkelanjutan dan rutin dilakukan seperti pengumpulan data, pengabdian masyarakat, dan potensi pendanaan penelitian.

HDSS Sleman berkomitmen untuk mengumpulkan data dan menghasilkan analisis data kesehatan dan demografis yang berkualitas agar dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas kesehatan di masyarakat. Untuk mendukung hal ini, pertemuan tersebut merencanakan pelaksanaan workshop analisis data. Hal ini penting untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi kesehatan dan demografi masyarakat, serta menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang efektif.

Perencanaan persiapan pengumpulan data siklus 10 pada tahun 2025 diharapkan dapat berjalan lancar. Ini adalah langkah penting untuk memastikan kelangsungan program surveilans dan penelitian dalam jangka panjang. Kegiatan ini mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas, dengan menghasilkan data yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang isu-isu kesehatan dan demografi di masyarakat. Melalui upaya berupa diskusi perencanaan kegiatan dalam satu tahun, HDSS Sleman berharap dapat terus memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, baik secara lokal maupun global.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Foto: Naufal Farah Azizah

Kegiatan HDSS Sleman yang berkelanjutan sejak tahun 2015 dalam memantau tren kesehatan demografi di Kabupaten Sleman juga berkomitmen untuk mempromosikan kesehatan bagi warga Kabupaten Sleman hingga kini. Dalam upaya mendukung kegiatan promosi kesehatan, HDSS Sleman mengadakan rapat koordinasi untuk merencanakan edukasi kesehatan melalui platform media sosial HDSS Sleman. Tujuan rapat ini tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kesehatan lokal, tetapi juga untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Rapat tersebut membahas kolaborasi dari divisi pemanfaatan data, manajer data, dan hubungan pemangku kepentingan di HDSS Sleman dalam menyampaikan edukasi kesehatan dan menciptakan interaksi yang lebih baik dengan masyarakat. Edukasi kesehatan yang direncanakan tersebut diharapkan dapat menyebarkan informasi kesehatan penting yang terjadi di wilayah Kabupaten Sleman dan meningkatkan masalah kesehatan lokal di masyarakat.

Diskusi tersebut menekankan dan merencanakan inisiatif HDSS Sleman untuk tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan kolaborasi antardivisi. Beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diharapkan tercapai yaitu upaya mendukung SDG 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan) dengan mempromosikan hasil kesehatan yang lebih baik dan mengurangi ketidaksetaraan kesehatan di masyarakat. Selain itu, melalui edukasi kesehatan, diharapkan juga terbentuk berkontribusi pada SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dengan meningkatkan literasi kesehatan di kalangan masyarakat. Kolaborasi dengan pihak-pihak terkait lokal dengan HDSS Sleman harapannya juga dapat mendukung pencapaian SDG 17 (Kemitraan untuk Tujuan).

Diseminasi hasil pemanfaatan data dan interaksi dengan masyarakat melalui media sosial menjadi fokus utama dalam rapat ini. HDSS Sleman berencana untuk membuat konten yang menarik, memanfaatkan berbagai platform media sosial, dan menggunakan alat digital untuk menjangkau seluruh masyarakat. Pertemuan ini mencerminkan komitmen HDSS Sleman dalam mendukung pembangunan kesehatan yang berkelanjutan, sejalan dengan upaya global mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dengan kerjasama dan inisiatif yang terencana, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan masyarakat di Sleman.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Foto: Rahmi Kusumawati

Dalam upaya mencapai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera di Kabupaten Sleman, Sistem Surveilans Kesehatan dan Demografi Sleman (HDSS Sleman) telah melakukan pengumpulan data kesehatan pada populasi Sleman sejak tahun 2015. Kegiatan pengumpulan data HDSS Sleman bekerja sama dengan BAPPEDA dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman serta melibatkan masyarakat Kabupaten Sleman untuk menjadi responden.

Hingga saat ini, HDSS Sleman telah berhasil melakukan delapan siklus pengumpulan data dan sedang menyelesaikan pengumpulan data siklus kesembilan. Salah satu data yang dikumpulkan yaitu data imunisasi. Data imunisasi dikumpulkan pada siklus 2, 5, dan 8, dan menjadi kontribusi nyata dalam mencapai SDG 3.8, terutama dalam hal memberikan gambaran cakupan layanan kesehatan, khususnya imunisasi.

Pentingnya data imunisasi tidak hanya sebatas pengumpulan, tetapi juga kualitas data yang dihasilkan agar menghasilkan informasi yang berkualitas dari analisis data imunisasi. HDSS Sleman secara rutin melakukan diskusi dan evaluasi untuk memastikan data yang terkumpul berkualitas dan dapat dimanfaatkan. Diskussi rutin kali ini manajer data dan divisi ilmiah HDSS Sleman membahas penyatuan data imunisasi dari pengumpulan data siklus 2, 5, dan 8. Set data yang terkompilasi dengan baik diharapkan dapat menjadi sumber data yang dapat dimanfaatkan peneliti pada layanan penggunaan data sekunder HDSS Sleman.

Imunisasi memiliki peran strategis dalam menurunkan angka kejadian penyakit dan kematian yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Data imunisasi HDSS Sleman mendukung pencapaian SDG 3.2, peneliti yang memanfaatkan data imunisasi HDSS Sleman diharapkan dapat memperbesar upaya untuk mengakhiri kematian bayi baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun. Fokus khusus pada cakupan imunisasi sebagai intervensi kunci menjadi langkah konkret dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk khususnya di Kabupaten Sleman. Dengan kerjasama dan komitmen, HDSS Sleman terus berkontribusi dalam mewujudkan visi SDGs untuk masa depan yang lebih baik.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Dokumentasi: Naufal Farah Azizah

Tidak hanya sebagai unit penelitian, HDSS Sleman mendukung peningkatan luaran proses pendidikan dengan menerima mahasiswa kerja praktik atau magang. Kegiatan magang tidak hanya terlibat dalam kegiatan rutin, tetapi juga memberikan kontribusi penting terhadap beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terutama SDG 4. 

HDSS Sleman mulai menerima mahasiswa magang sejak tahun 2020. Mahasiswa yang melakukan magang di HDSS Sleman berasal dari berbagai program studi diantaranya yaitu gizi kesehatan dan statistika. Selain itu, HDSS Sleman juga pernah menerima mahasiswa magang dari program studi S1 kedokteran dan S2 Global Health dari University of Gothenburg.

Baru-baru ini, satu mahasiswa dari jurusan Statistika dan satu mahasiswa Gizi menyelesaikan magang mereka di HDSS Sleman pada Jumat, 2 Februari 2024.  Selama melaksanakan magang, mahasiswa aktif membantu berbagai kegiatan di HDSS Sleman. Kegiatan magang ini bertujuan untuk memberikan gambaran lingkungan kerja serta mengasah kemampuan mahasiswa di dunia kerja. Mahasiswa Statistika terlibat dalam analisis data yang diperlukan untuk pemahaman mendalam tentang pemanfaatan data sekunder di HDSS Sleman. Mahasiswa gizi terlibat dalam pengecekan database makanan dan perhitungan nilai gizi makanan dan uji penggunaan dalam aplikasi BorangKu Nutrisi yang sedang dikembangkan Tim HDSS Sleman. 

Setiap hari Jumat dilaksanakan pertemuan rutin membahas laporan kemajuan kegiatan magang mahasiswa. Pertemuan laporan kemajuan bukan hanya sebagai wadah untuk penyampaian progres pekerjaan selama magang, tetapi juga untuk mengevaluasi kesulitan yang ditemui selama menjalankan pekerjaan. Sehingga, dari kegiatan laporan kemajuan juga didapatkan solusi dari masalah yang dihadapi selama menjalankan kegiatan magang dan harapannya menambah pengalaman serta gambaran dunia kerja.

Dalam ungkapan kesan mereka, kedua mahasiswa tersebut mengakui bahwa pengalaman yang mereka dapatkan selama magang melampaui ekspektasi. Mahasiswa tidak hanya belajar dari buku teks dan perkuliahan dalam kelas, tetapi juga merasakan secara langsung kompleksitas pekerjaan di lapangan. Mereka menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam mendukung suatu ekosistem kerja.

Pengalaman magang ini tidak hanya menciptakan kesempatan bagi pengembangan mahasiswa, tetapi juga memberikan kontribusi positif terhadap pencapaian SDGs, terutama SDG 4 (Pendidikan Berkualitas). Partisipasi dan kontribusi aktif mahasiswa selama magang mendukung luaran proses pendidikan berupa sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki keahlian yang dibutuhkan.

Penulis: Naufal Farah Azizah
Editor: Septi Kurnia Lestari
Dokumentasi: Dewi Caesaria Fitriani